Page 49 - Prosiding Agraria
P. 49
34 STRATEGI PERCEPATAN IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA:
MELANJUTKAN PENYELESAIAN PERSOALAN AGRARIA UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Selain memberi ruang bagi masyarakat adat Nagari Pagadih untuk mempraktekkan sistem
adatnya, Perna bermaksud untuk memberi kepastian hukum (setidaknya di tingkat lokal),
mengamankan lahan sebagai aset kaum agar tidak disalahgunakan oleh pihak luar, dan
mendorong pengelolaan lahan-lahan ’tidur’ dan ’tidak produktif’ agar dikelola dengan prinsip
prinsip konservasi sesuai asas perlindungan dan pemanfaatan pada Perna untuk menjamin
fungsi ekosistem alami. Hal ini sejalan dengan semangat Reforma Agraria. Pengelolaan
lahan berdasarkan kaum masih dipraktikan oleh masyarakat adat di Nagari Pagadih tanpa
memandang status Kawasan Hutan atau non-Kawasan Hutan. Tanah-tanah ulayat kaum yang
dikelola dengan skema Perhutanan Sosial atau Reforma Agraria dapat dibagi berdasarkan
kaum-kaum yang ada di Nagari Pagadih, sehingga penentuan subjek pengelola Perhutanan
Sosial dan Reforma Agraria dapat ditentukan dengan mudah karena sudah jelas dalam sistem
adat di Pagadih terkait pertanahan, misalnya mengambil contoh contoh inisiatif di tanah adat
Bali (Pertiwi, 2023; Pertiwi et al., 2019; Suwitra, 2009). Konflik-konflik internal yang biasanya
terjadi dalam pembagian lahan dapat di mitigasi oleh hukum adat di Nagari Pagadih.
Dari perspektif Nagari/Desa sebagai kesatuan tradisional masyarakat Minangkabau,
sistem pemerintahan Nagari yang ditegaskan dalam peraturan perundangan-undangan, baik
di level nasional (Pemerintah Republik Indonesia, 2024d) atau di level daerah (Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat, 2018), belum dapat sepenuhnya mengakomodasi sistem
pemerintahan adat yang sebelumnya eksis di tingkat desa pada masa pra kolonial Belanda
(Hamka, 2021; Andreas et al., 2019; Edi, 2019). Oleh karenanya, setidaknya, implementasi
Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial perlu dilaksanakan dengan optimal agar dapat
menjadi instrumen kebijakan yang berpeluang bagi Sumatera Barat untuk kembali ke
pengakuan adat Minangkabau berbasis Nagari sebagai kesatuan tradisional masyarakat
Minangkabau. Perbedaan mendasar Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ialah perbedaan
objek lokasi yang mesti mengikuti 2 fungsi utama dalam tata ruang di Indonesia; Reforma
Agraria di Areal Penggunaan Lain (APL) dan Perhutanan Sosial di Kawasan Hutan. Adapun
persamaannya ialah bagaimana masing-masing kebijakan memberikan perhatian kepada
masyarakat pada aspek ekonomi, meski belum cukup mendalam pada aspek sosial, budaya,
dan politik. Contohnya, di dalam Kawasan Hutan, skema Perhutanan Sosial (PS) hanya
memberikan hak kepada Nagari/Desa atau kelompok. Walaupun terdapat skema Hutan Adat
untuk mengembalikan hak ulayat melalui hutan adat, penerapan Hutan Adat di Sumatera
Barat masih terbatas, berbeda dengan skema PS lainnya yang sudah mencapai lebih dari 300
ribu hektar (Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2024). Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
telah mengupayakan penerbitan Peraturan Daerah (PERDA) yang mendukung hal ini, namun
belum terealisasi. Jika PERDA tersebut terbit, lahan di Kawasan Hutan dapat diakui sebagai
hak adat atau hutan hak, yang pada gilirannya akan memperkuat aspek sosial, budaya, dan
politik secara keseluruhan. Di luar Kawasan Hutan, yaitu di APL, terdapat skema HPL dari
ATR/BPN. Contoh penerapan skema ini sudah ada di tiga lokasi di Sumatera Barat, yaitu di
Kabupaten Tanah Datar dan Lima Puluh Kota, namun belum ada sertifikat hak milik komunal