Page 481 - Kembali ke Agraria
P. 481

Usep Setiawan

            petani dan keharusan untuk dijalankannya reforma agraria di Indo-
            nesia. Untuk itu, pertama-tama, patutlah dipuji produktivitasnya seba-
            gai penulis artikel lepas di media massa (: koran dan majalah). Jika
            kita lihat rentang waktu penerbitan tulisan-tulisan ini yakni sejak
            tahun 2000 hingga 2010, dapat dibayangkan ‘kehebatan’ penulisnya
            di tengah-tengah kesibukan terlibat dalam kelompok gerakan sosial
            (KPA) dan menyelesaikan kuliah pasca sarjananya di IPB (dalam 2-
            3 tahun belakangan ini) selalu menyempatkan diri menuangkan ga-
            gasan dan pikirannya dalam bentuk tulisan untuk dibagi kepada
            publik.
                Kedua, tidak mudah untuk mencapai bagian ‘epilog’ ini jika harus
            melewati 400-an halaman naskah utama terlebih dahulu. Sebagai
            sebuah kumpulan tulisan, buku ini terlalu tebal dan terlalu bervariasi
            kandungan ulasan-ulasannya. Akan lebih baik, dalam pandangan
            saya, jika kumpulan tulisan Usep diterbitkan dalam 2-3 buah buku
            yang masing-masing terfokus pada 1-2 tema, disertai dengan satu
            tulisan pengantar yang baru untuk mengikat kembali argumen-argu-
            men pokok dari masing-masing tulisan. Sehingga kita lebih bisa mene-
            mukan bangunan utuh dari buku kumpulan tulisan tersebut: bukan
            sekedar tumpukan tulisan yang dijilid kembali menjadi sebuah buku.
                Sebelum memberikan beberapa ulasan yang sifatnya lebih sub-
            stantif terhadap gagasan yang disampaikan Usep dalam buku ini,
            saya hendak mengajak pembaca kembali ke tahun 1991. Kala itu saya
            masih berstatus mahasiswa, sedang menunggu jadwal ujian sarjana
            (: tepatnya sedang menyelesaikan bagian-bagian akhir dari skripsi
            sebelum ‘setor’ ke jurusan untuk disidangkan). Salah satu kegiatan
            yang kerap saya lakukan kala itu adalah nongkrong di kantin fakultas,
            ngopi sambil bercengkrama dengan kawan-kawan atau berdikusi
            tentang apa saja dengan mereka. Satu ketika, seorang karib, seorang
            aktivis mahasiswa sohor di Bandung yang juga kawan satu angkatan
            di jurusan Antropologi Unpad, menghampiri dan mengatakan “suatu
            hari aku akan mengenalkanmu dengan seorang anak-baru yang sangat
            potensial”, sebelum kami terlibat dalam obrolan panjang-lebar


            462
   476   477   478   479   480   481   482   483   484   485   486