Page 103 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 103

84    Land Reform Dari Masa Ke Masa

            UU No. 11/67 tentang Pokok-pokok Pertambangan, dan lain-
            lain perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip
            “fungsi-fungsi sosial atas tanah” dari UUPA 1960. Menurut
            KPA, posisi dominan negara dimanfaatkan secara efektif oleh
            rejim Suharto untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa
            menyediakan bagi rakyat miskin pedesaan – petani subsisten,
            buruh dan penggarap, kaum miskin kota, dan kelompok
            terpinggirkan lainnya – kesempatan untuk berpartisipasi
            dalam menguasai, menggunakan, memiliki dan mengambil
            manfaat dari tanah. Untuk menarik perhatian publik
            mengenai relevansi UUPA 1960, KPA mengusulkan untuk
            menyempurnakan UU tersebut dengan empat tujuan utama,
            yaitu (a) untuk membatasi kecenderungan pemegang kekuasaan
            negara untuk menggunakan dan  menyalahgunakan
            kekuasaan mereka untuk mengalokasikan tanah dan sumber
            daya alam lainnya; (b) untuk memajukan hak rakyat untuk
            mengendalikan, menggunakan, dan memiliki dan mengambil
            manfaat dari tanah dan sumber daya alam lainnya, dan
            berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan; (c) untuk
            mengajukan revisi atas kebijakan-kebijakan agraria Orde
            Baru, termasuk review komprehensif terhadap berbagai
            hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam
            UUPA 1960; dan (d) untuk menyiapkan strategi untuk
            mencapai keadilan agraria melalui sebuah kebijakan
            pembaruan agraria nasional yang menyeluruh (Konsorsium
            Pembaruan Agraria 1998:2-7).
                   Pengaruh kampanye untuk land reform selama
            periode “transisi demokrasi” Indonesia (Mei 1998 sampai
            November 1999) berada di luar imaginasi para pemrakarsa
            yang memulai kampanye itu semasa Indonesia berada di
            bawah rejim Suharto. Hasan Basri Durin, Menteri Negara
            Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengambil
            sebuah pendekatan baru. Berlawanan dengan posisi
            konfrontatif dari para pendahulunya, Durin memutuskan
            untuk menciptakan ruang untuk mendengar kritik dan
   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108