Page 136 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 136
Ringkasan 117
melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada
tahun 1984 Menteri Kehutanan menunjuk apa yang
diistilahkan “kawasan hutan”, seluas 120 juta hektar, 62
persen dari wilayah daratan Republik Indonesia (Contreras-
Hemolisa dan Fay 2005). Selanjutnya, terbentuklah sistem
ganda penguasaan dan pengelolaan pertanahan di Republik
Indonesia ini, yakni pada “kawasan hutan” yang berada di
bawah jurisdiksi Departemen Kehutanan berdasarkan
Undang-undang Kehutanan (UU no 5/1967 yang kemudian
direvisi menjadi UU no 41/1999) dan tanah-tanah non-
kawasan hutan yang berada di bawah jurisdiksi BPN berdasar
pada UUPA dan perundang-undangan agraria (Fay dan
Sirait 2004, Moniaga 2007).
Di wilayah non-hutan, pemerintahan Orde Baru
membentuk rejim kebijakan “tanah untuk pembangunan”
dengan mengandalkan apa yang secara formal diistilahkan
sebagai “pengadaan tanah”. Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dibentuk pada mulanya untuk meningkatkan
kapasitas pemerintah dalam melayani kepentingan
pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan itu.
Protes-protes rakyat secara sporadis meletap-letup di sana-
sini. Sejak tahun 1980an para aktivis bantuan hukum dan
hak Azasi manusia bekerja membela korban-korban
perampasan tanah, mengkritik kebijakan pertanahan Orde
Baru, dan mulai mempromosikan (kembali) land reform.
Sejak tahun 1991, Bank Dunia mulai merencanakan
intervensi pada hukum, lembaga, dan manajemen tanah
Indonesia yang dianggap menghambat munculnya pasar
tanah yang efisien dan wajar. Penulis telah menjelaskan
bagaimana proyek tanah Bank Dunia diarahkan pada
legalisasi aset tanah yang kemudian menjadi ortodoksi baru
dalam BPN.
Tumbangnya rezim militer-otoriter Suharto pada tahun
1998 memungkinkan aktivis agraria dan akademisi untuk
mengartikulasikan kritik terhadap penggunaan dan