Page 84 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 84
Tanah Untuk Pembangunan 65
diabdikan:
[u]ntuk menjalankan peranan yang lebih aktif pada
setiap tahap pembangunan baik di bidang ekonomi,
sosial budaya, politik maupun hankamnas yang
ditentukan dalam Era Pembangunan 1970-2000 …
Berhubungan dengan itu maka segala potensi
keagrariaan yang berada dalam lingkungan tugas
Direktorat Jenderal Agraria perlu digali dan
dikembangkan serta dimanfaatkan secara maksimal
untuk mencapai tujuan yang dimaksud” (Departemen
Penerangan RI 1982:135).
Kebijakan emblematik yang baru adalah pengambilalihan
tanah untuk proyek-proyek pembangunan termasuk
“pemberian hak baru, perpanjangan/pembaharuan hak yang
sudah habis waktunya, pencabutan/pembatalan hak serta
pengawasan terhadap pemindahan hak, baik atas tanah-
tanah untuk bangunan (pemukiman, industri) maupun
untuk diusahakan (pertanian, perkebunan, peternakan dan
perikanan)” (Departemen Penerangan RI 1982:137). Selama
dua belas tahun (1969-1982) Direktorat Jenderal Agraria
menerbitkan 682 unit “hak guna usaha” sebesar lebih dari
49
49 Menurut UUPA, “Hak Guna Usaha” merupakan sebuah hak
untuk memanfaatkan tanah yang khusus pada tanah negara untuk
tujuan-tujuan pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
“Hak Guna Usaha” mengijinkan pemegang hak tersebut untuk
mengolah suatu bidang tanah tertentu selama jangka waktu
tertentu dan dengan tujuan yang dimaksudkan dalam ketetapan
pemberian hak tersebut. Pemegang hak tersebut juga berhak untuk
mendirikan bangunan di tanah tersebut dengan persyaratan tertentu
yang terkait dengan bidang aktivitasnya. Untuk pertama kalinya
Hak Guna Usaha bisa diberikan dengan jangka waktu 25 tahun.
Jangka waktunya bisa mencapai 35 tahun untuk perkebunan
dengan komoditas khusus seperti kelapa sawit. Hak Guna Usaha ini
bisa diperpanjang sampai 20 tahun. “Hak Guna Usaha” bisa diberikan
kepada warga negara dan perusahaan yang didirikan di dalam dalam
hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia. Perusahaan-
perusahaan asing tidak boleh memperoleh hak ini. Untuk rincian
lebih lanjut, lihat:Gautama dan Budi Harsono (1972:64-77), dan
Parlindungan (1990:126-160).