Page 12 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 12
Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria xi
ruang dan bentang alam Indonesia. Dari pengalaman tiga kasus yang
dikaji, semua pihak bisa belajar bahwa perumusan tata ruang itu
dibangun dari bawah (bottom up). Struktur Kementerian ATR/BPN
yang menempatkan urusan tata ruang hanya di pusat (Direktorat
Jenderal Tata Ruang), perlu ditinjau ulang. Dalam struktur Kemen-
terian ATR/BPN RI, penataan ruang harus ada di berbagai kabu-
paten/provinsi di Indonesia.
Tema Kedua, terkait Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat
di Kalimantan Tengah. Temuan di lapangan dengan tegas menyata-
kan bahwa peraturan perundang-undangan dan penguasaan tanah
pada kawasan hutan oleh masyarakat menurut adat-kebiasaan
diakui, namun secara teknis-operasional pengadministrasian kepe-
milikan bidang-bidang tanah (pengakuan secara formal) masih
terkendala karena adanya disharmoni dalam pengaturan perun-
tukan/pemanfaatan tanah antara RTRW Provinsi Kalimantan Tengah
dengan TGHK (dan SK Menhut No. 529 Tahun 2012), serta adanya
perbedaan persepsi penguasaan tanah antara masyarakat (peng-
garap) dengan otoritas kehutanan. Sekalipun hasil pelaksanaan IP4T
pada kawasan hutan berupa rekomendasi kepada Kementerian Ling-
kungan Hidup dan Kehutanan agar penguasaan tanah masyarakat
dilepaskan dari kawasan hutan. Upaya itu harus segera dilanjutkan
karena dengan cara tersebutlah hak warga bisa diwujudkan sebagai
bentuk pelayanan negara kepada warganya.
Ujung dari kajian tim peneliti ini memutuskan enam persoalan
yang harus segera diselesaikan demi mewujudkan penguatan hak
atas tanah bagi masyarakat adat di Kalimantan Tengah: 1. Perlu
segera dilakukan harmonisasi alokasi pemanfaatan ruang antara
Pemerintah Daerah dengan otoritas kehutanan; 2. Pelaksanaan IP4T
dilakukan secara sistematik, desa demi desa terhadap semua bidang-
bidang tanah yang sudah dikuasai oleh masyarakat dan saat peme-
taan bidang-bidang tanah sebaiknya melibatkan partisipasi masya-
rakat local; 3. Perlu dilakukan penelitian intensif mengenai pola-pola
perolehan, peralihan serta penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh
masyarakat setempat agar tidak terjadi saling klaim diantara warga;
4. Agar lebih efektif, pendanaan kegiatan IP4T kawasan hutan
ditempatkan pada salah satu Satker/instansi; 5. Perlu diatur secara

