Page 100 - Dinamika Pendaftaran Tanah Adat di Kampung Naga
P. 100

1.   Agama magis di mana pola pikir masyarakat adat didasarkan pada
                kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral;
            2.  Komunal, yaitu individu merupakan bagian integral dari masyarakat
                secara keseluruhan;
            3.  Konkret  artinya  setiap  hubungan  hukum  yang  terjadi dalam
                masyarakat dilakukan secara jelas; dan
            4.  Tunai, yaitu pencapaian yang dipenuhi secara spontan/segera.

                Tanah masyarakat  adat  yang berkedudukan  tinggi  tidak hanya
            dimaknai sebagai benda yang berharga, tetapi juga mengandung nilai
            magis historis  dan  religius  di  mana  para leluhur bermukim.  Pasal 3
            UUPA dalam catatan penjelasannya menyebutkan bahwa yang dimaksud
            dengan “hak ulayat” dan “hak-hak yang serupa dengan itu” adalah apa
            yang dalam kepustakaan hukum adat disebut dengan “beschikkingsrecht”.
            Bushar Muhammad menyatakan bahwa objek Hak Ulayat meliputi:
            a.  Tanah;
            b.  Air (perairan seperti: sungai, danau, pantai, dan lainnya);
            c.  Tumbuhan yang hidup di alam bebas (pohon buah-buahan, pohon
                untuk pertukangan atau kayu bakar, dan sebagainya);
            d.  Binatang-binatang liar yang hidup bebas di hutan.
                Hak ulayat mencakup semua tanah yang berada di dalam wilayah
            masyarakat hukum adat yang  bersangkutan, baik yang sudah diklaim
            oleh seseorang maupun yang belum. Wangi, Dantes & Sudiatmaka (2023)
            juga menyatakan bahwa dalam konteks hak ulayat, tidak ada tanah yang
            bersifat “res nullius” atau tidak ada yang memiliki sehingga dapat diambil
            oleh negara.  Umumnya batas-batas  wilayah Hak Ulayat masyarakat
            hukum adat tidak dapat ditentukan secara pasti.
                Peraturan  yang  terkait dengan wilayah adat  biasanya dituangkan
            dalam lingkup desa sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun
            2014 tentang Desa. Peraturan ini telah melalui perjalanan panjang dari
            tahun 1979 di masa Orde Baru. Menurut Nurul Hadi dalam artikelnya
            yang berjudul  “Bangkitnya  desa  adat melalui UU  Desa”,  variasi  desa,
            nagari, kampung,  dan  sebutan lainnya  telah bertahan  selama  ratusan
            tahun dengan keberadaan historis masing-masing  (Illiyani, 2018).  UU




                                                                   BAB 05   81
                                        Sistem Tenurial Masyarakat Adat Kampung Naga
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105