Page 98 - Dinamika Pendaftaran Tanah Adat di Kampung Naga
P. 98
Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini bertujuan
mengidentifikasi masalah dalam memahami pengakuan Masyarakat
Hukum Adat (MHA). Dalam tulisan ini, tanah adat diartikan sebagai
tanah yang diatur penggunaannya melalui hukum adat yang sering
disebut sebagai Tanah Ulayat milik MHA. Peneliti merasa prihatin tentang
pengakuan tanah adat dalam hukum positif namun pengaturan dan
praktiknya masih sebatas pengakuan objek, belum mencakup pengakuan
subjek dan hubungan hukumnya. Permen ATR/BPN No. 18/2019 hanya
mengamanatkan pencatatan Tanah Ulayat dalam daftar tanah untuk
memberikan informasi tentang letak dan batas bidang tanah, tanpa
mencantumkan informasi tentang pemilik tanah dan kepentingan hak
pihak lain, serta jenis hubungan hukumnya. Oleh karena itu, terdapat
keterbatasan informasi mengenai tanah adat dalam pencatatan tersebut.
Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat di
Indonesia telah tertuang dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan
perundang-undangan. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Pasal 28I ayat (3) menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban”.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan peradaban, selain
UUD 1945, beberapa undang-undang sektoral juga menjamin hak-
hak masyarakat adat. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat memang penting, karena harus diakui bahwa
masyarakat hukum adat telah lahir dan ada jauh sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk. Namun dalam perkembangannya, hak-
hak tradisional tersebut harus sesuai dengan prinsip dan semangat
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui persyaratan normatif
dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Persyaratan normatif
tersebut menjadi penghambat eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat.
Hal ini dikarenakan pertama, dalam praktik pelaksanaan pembangunan,
BAB 05 79
Sistem Tenurial Masyarakat Adat Kampung Naga