Page 92 - Jogja-ku(dune Ora) didol: Manunggaling Penguasa dan Pengusaha Dalam Kebijakan Pembangunan Hotel di Yogyakarta
P. 92
Artinya bahwa, jika Pemerintah Kota serius ingin melindungi iklim
investasi di Kota Yogyakarta sehingga tidak ada perang tarif hotel,
maka Pemerintah Kota harus tegas, tidak hanya untuk hotel baru
saja, namun seharusnya untuk permohonan pengembangan hotel
juga harus ditutup. Mengapa demikian? Karena dalam perjalanannya
banyak pengembangan hotel justru hampir menyamai dengan
pembangunan hotel baru, yakni selain bertambahnya luas bangunan
juga masih dimungkinkan untuk penambahan jumlah lantai
bangunan.
Pemerintah Kota memang sebenarnya tidak ingin membatasi
suatu usaha yang mengalami perkembangan, sehingga dalam
pengembangan hotel tersebut dimungkinkan adanya perluasan
bangunan, selain itu juga dimungkinkan adanya penambahan tinggi
bangunan. Misalnya jika dahulu hotel tersebut hanya 2 (dua) lantai,
masih dapat mengajukan permohonan IMB untuk menambah jumlah
lantai misalnya menjadi 4 (empat) lantai. Padahal penambahan
lantai dan kamar untuk hotel otomatis juga akan berpengaruh pada
bertambahnya kebutuhan akan sumberdaya air. Ini artinya ancaman
ekologis dari berkurangnya sumber air tanah masih menghantui di
masa mendatang.
Selain kebijakan moratorium hotel yang hanya dikhususkan
untuk pembangunan hotel baru, kebijakan ini juga memiliki
jangka waktu yang terlalu pendek, yakni hanya 3 (tiga) tahun saja.
Menurut Darsono selaku Kepala Bidang Regulasi, Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta, menyatakan bahwa pendeknya jangka waktu ini
karena menyesuaikan dengan batas akhir kepemimpinan Walikota
Yogyakarta yang tinggal 3 (tiga) tahun. Sehingga kebijakan tersebut
syarat dengan muatan politis seperti dikutip dari pernyataannya
Linbolm dan Woodhouse yang menyatakan bahwa:
Berebut Ruang dan Tanah di Kota Istimewa 77