Page 16 - MODUL PEMBUNUHAN
P. 16
Telah dikemukakan bahwa melakukan larangan (haram) dan meninggalkan
perintah (kewajiban) adalah perbuatan maksiat yang digolongkan jarimah takzir.
Mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang sunah tidak termasuk perbuatan
maksiat, tetapi fukaha menyebutnya sebagai perbuatan menyimpang atau pelanggaran
(mukhalafah) dan tindakan tidak patuh (ghair mumtasil). Perbutan ini diperselisihkan
oleh fukaha apakah termasuk jarimah atau tidak. Sebagian fukaha memandang bahwa
mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang sunah tidak dapat digolongkan
jarimah karena tidak ada taklif atasnya sedangkan perbuatan dapat dianggap jarimah
bila ada taklif atasnya. Sebahagian fukaha berpedapat bahwa mengerjakan yang
makruh dan meninggalkan yang sunah termasuk jarimah takzir yang dapat diancam
sanksi karena mengandung penyimpangan dan tindakan tidak patuh. Pendapat ini
didasarkan pada kasus Umar bin Khattab yang pernah menghukum takzir seseorang
yang akan membaringkan kambingnya untuk disembelih lalu pergi mengasah
pedangnya. Perbuatan ini termasuk perbuatan makruh tetapi Umar menghukumnya
dengan takzir supaya tidak diulangi dan sebagai pelajaran bagi orang lain.
Dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), jarimah takzir terbagi kepada:
1. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah hudud atau kisas-diat yang tidak meme-
nuhi syarat penerapan sanksi hadnya atau mengandung syubhat seperti
pencurian harta yang tidak disimpan pada tempat penyimpanan semestinya.
2. Jarimah takzir yang jenis perbuatannya dilarang dalam al-Qur'an atau sunnah
tetapi jenis sanksinya belum ditetapkan seperti menyuap, mengurangi
timbangan, meninggalkan salat fardu, dan sebagainya.
3. Jarimah takzir yang jenis dan bentuk sanksinya belum ditentukan oleh syarak.
Penetapan jenis dan bentuk jarimah ini diserahkan kepada pemerintah atau
hakim seperti pelanggaran peraturan lalu lintas dan pelanggaran disiplin pegawai
negeri.
D. Sanksi Jarimah Takzir
Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa sanksi terhadap setiap tindak
jarimah takzir belum ada ketentuan bentuknya. Hal itu karena penetapan bentuk sanksi
jarimah takzir diserahkan kepada pertimbangan pemerintah atau hakim yang
melakukan persidangan atas perkara jarimah takzir. Meskipun demikian, bukan berarti
bahwa hakim dapat sewenang-wenang menetapkan bentuk sanksi jarimah takzir
tersebut. Hakim dalam menetapkan sanksi jarimah takzir tetap terikat pada kaidah-
kaidah keadilan dan kesesuaian antara tindak kejahatan dan sanksi yang diberikan.
Demikian pula ia terikat untuk memulai dengan sanksi minimal yang cukup
menghentikan pelakunya melakukan kejahatan. Ia tidak boleh berlebih-lebihan atau
melampaui batas dalam mengenakan sanksi dan tidak mengikuti hawa nafsunya.
Kasus-kasus yang termasuk jarimah takzir sangat luas. Begitu pula dengan san-
ksi yang dapat dikenakan kepada pelakunya juga sangat banyak. Meskipun demikian,
secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk, yaitu:
6