Page 146 - Ayah - Andrea Hirata
P. 146

Ayah ~ 133


            tangkan  tangannya lebar-lebar. Angin  menerpa wajahnya.

            Dia menoleh ke belakang dan tersenyum melihat radio itu.
            Radio itu pun tersenyum kepadanya.
                 “Maafkan aku, Mister Phillip, lama sekali baru menjemputmu.”

                 “Ah, tak apa-apa, Amiru.”
                 “Mencari pekerjaan susah, hanya orang sekolah tinggi yang dapat
            pekerjaan.”
                 “Aku mengerti, tapi aku tahu, kau pasti datang menjemputku.”
                 Malam itu, azan Isya sambung-menyambung dari surau

            ke surau, setelah itu tak terdengar lagi suara. Kampung sepi,
            lalu senyap.
                 Malam merayap, semakin senyap. Amiru terbaring me-

            natap langit-langit kamar, tergeletak lemah dan lelah, seakan
            tulang belulangnya telah patah, tetapi telinganya terpasang.
            Tegang dia menunggu pukul 9.00 malam tiba. Itulah saat si-
            aran yang sangat ditunggu ayahnya.
                 Tak berkedip Amiru menatap detak jarum panjang di

            jam dinding, setiap detik bak sehari. Akhirnya, pukul 9.00
            malam tiba. Terdengar langkah ayahnya menuju radio. Be-
            berapa saat lenyap lalu perlahan menguar bunyi kemerosok.

            Oh, betapa Amiru merindukan bunyi itu.
                 Melalui  celah dinding papan, Amiru melihat ayahnya
            memutar-mutar tombol  tuning  lalu  hinggap di siaran RRI.
            Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” berkumandang. Amiru
            tersenyum melihat ayahnya bangkit dan berdiri tegak.
   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151