Page 225 - Ayah - Andrea Hirata
P. 225
212 ~ Andrea Hirata
Sabari menoleh lagi ke belakang, Tamat merendahkan
badannya, dengan maksud apa yang akan dikatakannya tidak
dilihat orang, dia berbisik keras sambil melindungi mulutnya
dengan tangan.
“Pikir-pikir!”
Belum sempat Sabari menyitir kata-kata itu untuk dilon-
tarkan kembali pada majelis, Marlena bangkit.
“Pikir-pikir apa?! Jangan percaya, Yang Mulia, aku kenal
tiga orang itu! Mereka itu satu komplotan, tukang bikin onar!
Lihatlah dandanannya itu!”
Tentu saja tindakan Lena yang tidak normatif itu lang-
sung ditertibkan oleh hakim melalui beberapa ketukan palu,
sekaligus Tamat diperingatkan bahwa dia hanya boleh me-
nyaksikan sidang, bukan untuk memberi satu pandangan hu-
kum. Tamat meminta maaf dan menunduk takzim di muka
Yang Mulia, macam orang mau dipancung lehernya.
Persidangan tak berlangsung lama. Hati Sabari seper-
ti digunting melihat panitera pengadilan menggunting buku
nikahnya dan buku nikah Lena. Yang Mulia mengetuk palu.
Majelis menutup sidang.
Majelis hakim meninggalkan ruangan. Lelaki terpelajar
tadi mengemasi berkas-berkasnya, memasukkannya ke koper,
lalu cepat-cepat pergi bersama Lena. Disusul Ukun dan Ta-
mat. Sabari masih duduk sendiri.
Terdengar panggilan bagi pasangan lain untuk mema-
suki Ruang Sidang III. Seorang petugas meminta Sabari

