Page 251 - Ayah - Andrea Hirata
P. 251

238 ~ Andrea Hirata


          gulma-gulma terbangun, bercuit-cuit sebentar, berebut tem-

          pat tidur lagi, lalu senyap lagi.
              Sabari duduk sendiri di beranda, mengamati garis-garis
          nasib di telapak tangan kirinya, yang tampak nyata di bawah
          sinar purnama kedua belas. Dia rindu kepada Zorro, Marle-
          na, ayahnya, ibunya, dan Marleni. Sabari yang sentimental,

          lembut, dan perasa. Air mata berjatuhan di telapak tangan
          kirinya itu. Tangan kanannya teguh menggenggam pensil.
              Abu Meong kembali dari dapur dengan gaya berjalan
          seperti orang habis melemparkan bola boling, lalu meloncat
          lagi ke pangkuan Sabari. Mereka duduk memandangi purna-
          ma kedua belas hingga rembulan tersembunyi di balik awan-
          awan sisik Januari.
              Sabari sadar bahwa segala hal yang dia lakukan selama

          ini, semangat yang tumbuh di sendi-sendi tubuhnya, setiap
          tarikan napasnya, adalah demi  anaknya, si kecil yang mu-
          rah senyum itu. Tak bisa dialihkannya pikirannya dari Zor-
          ro. Hampir tiga tahun, tak pernah walau hanya sehari dia
          terpisah dari anaknya itu, tiba-tiba anaknya tak ada. Sering

          dia melakukan rutinitasnya, bangun subuh, cepat-cepat men-
          jerang air untuk membuat susu. Tergesa-gesa karena bangun
          agak terlambat. Aduk ini, aduk itu, masukkan ke botol susu.
          Bergegas ke kamar lagi, tetapi terkejut karena Zorro tak ada.
          Sabari tersandar di dinding, tubuhnya lunglai. Dia bersimpuh
          di lantai, tersedu-sedu tangisnya.
              Setiap hari Sabari dicekik kerinduan sekaligus kecemas-

          an akan keadaan anaknya. Oleh karena itu, dalam waktu sing-
   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255   256