Page 375 - Ayah - Andrea Hirata
P. 375

362 ~ Andrea Hirata


          megah berkilauan, empat tingkat, berpita merah putih, men-

          julang macam Menara Eiffel. Itulah lambang supremasi olah-
          ragawan Melayu. Pemenangnya, tak peduli siapa dia, pemu-
          lung, geladangan, atau bramacorah, akan menjadi anak emas
          kebanggaan kampung. Akan menjadi atlet mewakili Kabupa-
          ten Belitong ke tingkat provinsi. Bisa petantang-petenteng ke

          sana kemari dengan baju training bertulisan kontingen provinsi di
          punggungnya. Jika dipakai menonton organ tunggal, dijamin
          gampang dapat kenalan. Di antara mereka bercokollah Dina-
          mut dan Sabari, dua musuh bebuyutan, seteru lama.
              Nomor peserta tergantung di leher mereka. Cara pema-
          nasannya saja mendebarkan. Tak sekadar  memutar-mutar
          batang leher seperti orang-orang awam itu, mereka melaku-
          kan lari di tempat secara cepat. Mereka berdesak-desakan di

          bibir garis start dengan wajah serius. Tak seperti pelari pe-
          lengkap penghibur tadi, cengengesan saja.
              Asap persaingan mengepul tebal. Setiap tahun jumlah
          pelari sesungguhnya itu selalu meningkat. Pelari muda yang tang-
          guh terus bermunculan. Tahun ini ratusan jumlahnya, jumlah

          terbesar yang pernah tercatat. Tak sabar mereka ingin men-
          jajal tenaga dan teknik berlari dalam jarak yang menciutkan
          nyali.
              Ribuan  orang hiruk  pikuk.  Suitan  dan  tepuk  tangan
          membahana menyambut teriakan komentator lomba yang
          bertengger  di anjungan nan tinggi,  dikelilingi  speaker TOA
          yang mengarah ke empat penjuru angin. Dia mengumumkan
   370   371   372   373   374   375   376   377   378   379   380