Page 377 - Ayah - Andrea Hirata
P. 377

364 ~ Andrea Hirata


              Sabari  tersenyum lebar  sambil mengacungkan jempol

          kepada penggemar terbesarnya itu. Juru antar bergegas ke
          tempat parkir. Setelah dua belas kali diengkol, mesin motor-
          nya hidup. Dia memelesat ke taman balai kota.
              Semua kegaduhan di stadion didengar Zuraida melalui
          radio  lokal  sambil menyetrika  pakaian.  Dibesarkannya vo-

          lume radio sebab suara penyiar, live dari lokasi start lomba,
          tenggelam dalam sorak-sorai penonton, jerit anak-anak, bu-
          nyi mainan, teriakan panitia melalui megafon, sempritan pe-
          luit polisi menertibkan penonton, dan lagu keras di sela-sela
          suara  komentator. Zurai membayangkan betapa ramainya
          suasana. Dia ingin ke sana, tetapi banyak pakaian yang harus
          disetrika dan piring kotor yang harus dicuci.
              Izmi pun ingin ke lokasi start, tetapi banyak pesanan ja-

          hitan yang harus diselesaikan. Dia juga mendengar semuanya
          melalui radio yang diletakkan di atas mesin jahit. Waktu ko-
          mentator menyebut nama Sabari, dia membekapkan tangan-
          nya di dada dan dia terkejut mendengar bunyi letupan pistol.
              Berhamburanlah  ribuan pelari,  persis pedagang kaki

          lima diuber polisi pamong praja. Penonton bersorak gegap
          gempita sambil mengibarkan bendera merah putih. Para pe-
          lari berebut mengambil posisi terdepan. Jumlah mereka yang
          banyak membuat mereka beradu siku.
              Pada saat bersamaan, nun jauh di Medan, 1.200 kilome-
          ter terpisah dari Pulau Belitong, JonPijareli dan band-nya siap
          merekam lagu andalan mereka, “Aku Berlari”. Delapan be-
   372   373   374   375   376   377   378   379   380   381   382