Page 382 - Ayah - Andrea Hirata
P. 382
Ayah ~ 369
Selanjutnya, tak terdengar lagi penyiar radio menyebut
nama Sabari. Nama Dinamut dan pelari lain menguar di ra-
dio. Pendukung Dinamut berjingkrak-jingkrak. Zuraida ter-
henyak di tempat duduk. Izmi tersandar pasrah. Juru antar
mengecilkan volume radio dan mengantonginya. Para peng-
gemar Sabari di berbagai kantor dan tempat tadi termangu.
Mereka menunggu penyiar menyebut lagi nama Sabari, hal
itu tak pernah terjadi.
Sabari sadar bahwa persaingan yang amat ketat menga-
kibatkan lajunya tak seimbang sejak start. Dia terlalu cepat di
awal dan bahwa strateginya hanya cocok untuk lari berjarak
paling jauh dua puluh kilometer. Dan, bahwa maraton disedi-
akan nasib untuk mereka yang muda dan punya nyawa berla-
pis-lapis. Dan, bahwa dunia sudah banyak berubah. Dia terla-
lu terfokus kepada Dinamut, padahal pelari muda jauh lebih
dahsyat. Gizi mereka lebih baik, dan bahwa mereka yang di-
besarkan dengan diminumi air tajin saja, tidaklah akan banyak
peluangnya dalam dunia yang edan ini. Masih tersisa belasan
kilometer, Sabari tak yakin dapat menyelesaikannya.
Satu per satu pelari mengundurkan diri. Mereka ming-
gir, lalu terbaring lelah di pinggir jalan. Maraton adalah olah-
raga yang memerlukan stamina luar biasa dan tekad baja pu-
tih. Hanya atlet-atlet bermental besi yang mampu menggapai
finis. Matahari sore yang masih panas mencabik-cabik para
pelari. Bayangan kemenangan dan piala menguap dari kepa-
la Sabari.

