Page 383 - Ayah - Andrea Hirata
P. 383

370 ~ Andrea Hirata


              Semakin banyak pelari berguguran, termasuk Dinamut.

          Dia juga tak sanggup bersaing dengan para pelari muda. Na-
          mun, Sabari tetap berlari meski tak secepat tadi. Napasnya
          berat. Kakinya sakit karena tadi terlalu dipacu. Mereka yang
          melihatnya menduga dia akan segera berhenti, tetapi aneh,
          dia tak menyerah. Akhirnya, Sabari tak melihat lagi pelari di
          depannya. Para penonton di pinggir jalan juga semakin sedi-
          kit.
              “Sudahlah, Boi, berhenti saja!” perintah Toharun dari
          atas sepeda.

              Sabari membelot dari perintah pelatihnya itu. Dia tetap
          berlari, sendirian dan menyedihkan.
              Suasana amat berbeda di taman balai kota. Ribuan pe-
          nonton bersorak-sorai menyambut enam pelari terakhir yang
          berbelok anggun di belokan sebelum memasuki jalur menuju
          gerbang taman balai kota. Juru antar sedih karena tak melihat
          Sabari di antara enam pelari calon juara itu.
              Suara gaduh mencapai puncaknya saat seorang pelari
          yang bertubuh tinggi, atletis, dan masih sangat muda mene-
          rabas pita di garis finis. Dialah si kijang itu. Diangkatnya piala
          empat tingkat itu tinggi-tinggi, berkilauan.
              Secepat orang-orang berkumpul di taman balai kota un-

          tuk menyaksikan para juara, secepat itu pula mereka menghi-
          lang. Dalam sekejap taman balai kota menjadi sepi.
              Juru antar tetap menunggu. Matanya lekat menatap be-
          lokan tadi. Masih diharapnya Sabari berbelok di situ. Meski
          jauh tertinggal, Sabari akan disambutnya bak seorang juara.
   378   379   380   381   382   383   384   385   386   387   388