Page 385 - Ayah - Andrea Hirata
P. 385
372 ~ Andrea Hirata
fitnah. Ayahnya mengundurkan diri, lalu bekerja sebagai tu-
kang reparasi radio dan televisi dari rumah ke rumah. Begitu
miskin sehingga tak mampu punya kios sendiri. Ayahnya su-
dah meninggal.
Motor juru antar meluncur pelan, sesekali terbatuk-
batuk. Anak kecil mengaji terdengar di radio di sakunya. Dia
teringat selalu mencium tangan ayahnya usai diajari ayahnya
mengaji. Dia rindu ingin mencium tangan ayahnya lagi.
Tanpa diketahui juru antar, nun belasan kilometer dari
garis finis, Sabari masih terus berlari.
“Berhenti saja, Ri!” perintah Toharun. “Tak ada guna-
nya lagi!”
“Oi, mau ke mana kau, Boi? Lomba sudah selesai. Pa-
nitianya saja sudah pulang!” teriak penonton di pinggir jalan,
disambut gelak tawa penonton lainnya.
“Mengapa kau terus berlari macam orang gila, Ri?” te-
riak orang lainnya disambut gelak tawa lagi.
Akan tetapi, meski berlari semakin pelan sebab kakinya
semakin sakit, meski diejek-ejek, Sabari menolak untuk ber-
henti. Karena, dia teringat akan anaknya. Yang tak tahan die-
jek malah Toharun. Dibelokkannya sepeda, minggat.
Matahari masih membara. Sabari memasuki jalan raya
yang panjang seakan tak berujung. Fatamorgana menari-nari
di atas aspal yang panas, mengejek dan mematahkan se-
mangat Sabari untuk berhenti. Sabari tetap berlari. Sepatu
murah yang dipakainya membuat kakinya semakin sakit. Di-
bukanya sepatu, dilemparkannya ke pinggir jalan. Dia tahu

