Page 51 - Ayah - Andrea Hirata
        P. 51
     38 ~ Andrea Hirata
              Bergetar tak keruan hati Ibu Norma, guru Bahasa Indo-
          nesia, sekaligus wali kelas, demi membaca puisi itu. Selama
          lima belas tahun mengajar, sejak tamat SPG (sekolah pendi-
          dikan guru), belum pernah dia menemukan murid SMA yang
          dipenuhi anak-anak kuli timah, menulis puisi seperti itu. Apa-
          lagi, siswa itu berasal dari Belantik, kampung tambang yang
          hidup segan mati tak mau itu. Maaf, Kampung Belantik yang
          dikenalnya disesaki orang-orang udik yang berkeringat kalau
          makan, tetapi kalau bekerja tidak. Pernah dia bersuamikan
          orang Belantik, cukup sekali!
              Lama Bu Norma menelaah puisi itu. Cinta adalah mahkota
          puisi, bukankah kalimat yang spektakuler? Bagaimana anak
          udik cengengesan itu mendapat kalimat itu? Soal cincin ada-
          lah perhiasan, pastilah, pikir Bu Norma, Sabari mencoba me-
          masukkan unsur realitas dalam puisinya yang metaforis.
              Bu Norma terkenal galak, suka berterus terang, tetapi
          tulus dan disenangi. Dia tidak menjelekkan atau memuji di
          belakang. Karena itu, dia dihormati. Dipanggilnya Sabari, di-
          katakannya bahwa dia berbakat di bidang puisi. Sabari terse-
          nyum. Dia sendiri tak tahu arti kata metaforis. Yang dia tahu
          semuanya digerakkan oleh cintanya kepada Lena, cinta yang
          bahkan telah membuatnya melihat WC umum di pasar ikan
          Belantik, yang baunya dapat membuat bola mata meloncat,
          indah tak terperi.
     	
