Page 28 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 28

26  |  Membela Kedua Orang Tua Rasulullah

            ketaatan  adalah  an-nazhar,  tapi  begitu  ia  tidak  dihitung  sebagai
            ibadah  karena  mempergunakannya  ketika  itu  hanya  untuk
            “mengenal” saja, karenanya;  orang seperti  ini  hanya disebut  orang
            taat  (muthi’),  tidak  disebut  orang  ahli  ibadah  (mutaqarrib).  Karena
            taqarrub  (ibadah,  mendekatkan  diri)  itu  hanya  dilakukan  oleh
            seseorang setelah itu tahu dan mengenal siapa siapa yang dia tuju
                            26
            dalam ibadahnya” .
                    Ilkiya al-Harrasi lalu berkata:
                    “Guru kami dalam menyikapi masalah ini dengan ungkapan
            yang  sangat  baik,  berkata:  Sebelum  Rasul  datang  maka  setiap
            keinginan hati dan jalan bertentangan satu dengan lainnya. Karena
            tidak ada satu keinginan-pun terjadi pada pikiran seseorang kecuali
            kemungkinan ada orang lain yang memiliki keinginan yang kebalikan
            dari itu. Maka itu setiap keinginan pikiran manusia satu atas lainnya
            akan saling bertentangan, sehingga akal akan menjadi bingung dan
            rancu. Dalam keadaan seperti ini tentulah harus tawaqquf (berhenti;
            tidak bisa membenarkan satu pikiran atas pikiran yang lain) hingga
            kegelapan  menjadi  terang,  dan  itu  hanya  dapat  terjadi  dengan
            datangnya  seorang  Rasul.  Dari  karena  inilah  maka  al-Ustadz  Abu
            Ishaq  asy-Syirazi  berkata:  “Perkataan:  “La  adri  nishf  al-‘ilm”  (Aku
            tidak  tahu  adalah  separuh  ilmu);  pemahamannya  ialah  bahwa
            “Pemahamanku telah sampai batas atau puncak di mana akal harus
            terhenti  di  situ,  tidak  bisa  melawatinya”.  Ungkapan  seperti  ini
            sebenarnya  adalah  ungkapan  dari  orang  yang  telah  benar-benar
            meneliti ilmu (daqiq), dan mengetahui cara mengoptimalkan fungsi
            akal;  sampai  di  mana  akal  tidak  lagi  dapat  melewati  batasnya  dan
                                       27
            harus berhenti sampai di situ” .
                    Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab al-Mahshul berkata:
                    “Bersyukur kepada yang memberi nikmat (Syukr al-Mun’im)
            tidak  wajib  secara  akal  [tapi  kewajiban  tersebut  ditetapkan  oleh
            syara’].  --Faham  kita  ini  berbeda  dengan  faham  Mu’tazilah  yang
            mengatakan bahwa kewajiban syukr al-Mun’im ditetapkan oleh akal--
            .  Oleh  karena  bila  syukr  al-Mun’im  itu  wajib  sebelum  datangnya

                  26  al-Hawi Li al-Fatawi, as-Suyuthi, 2/206, mengutip dari ta’liq al-Harrasi.
                  27  Ibid, 2/205, kutipan beliau dari ta’liq al-Harrasi.
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33