Page 91 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 91
Membela Kedua Orang Tua Rasulullah | 89
Rasulullah telah berpindah-pindah dari tulang rusuk yang suci, antar
moyang-moyang beliau, hingga Allah menjadikannya sebagai utusan
Allah. Karena itulah maka “cahaya” kenabian Rasulullah turun-
temurun secara jelas di antara moyang-moyang beliau. Kemudian
dari pada itu, Rasulullah dilahirkan dari ayahanda dan ibunda yang
suci seorang diri; tanpa saudara kandung, baik saudara kandung laki-
laki atau perempuan, oleh karena hanya pada diri beliau seorang saja
puncak segala kesucian yang turun dari ayah dan bundanya [dan dari
moyang-moyangnya terdahulu], supaya dengan demikian Allah
mengkhususkannya sebagai nasab bagi puncak kenabian, karena
itulah tidak ada satupun dari seluruh makhluk ini yang menyerupai
Rasulullah atau menyamainya, dan karena itula pula maka kedua
orang tua Rasulullah telah wafat saat Raslullah masih sangat kecil.
Ayahanda Rasulullah wafat saat Rasulullah masih di dalam
kandungan, dan ibunda Rasulullah wafat saat Rasulullah menginjak
umur enam tahun. Jika engkau benar-benar mempelajari nasab
Rasulullah dan memahami kesucian kelahirannya maka engkau akan
mengetahui bahwa Rasulullah berasal dari keturunan orang-orang
yang mulia, tidak ada seorang-pun dari mereka yang dihinakan,
dibuang, atau dijijikan, tetapi semua moyang Rasulullah adalah
orang-orang terkemuka dan para pemimpin yang memiliki nasab
mulia. Dan sesungguhnya di antara syarat kenabian adalah bahwa
orang tersebut harus berasal dari kelahiran [keturunan] yang suci”.
145
[Demikian tulisan al-Mawardi] .
Abu Ja’far an-Nahhas dalam kitab Fi Ma’ani al-Qur’an dalam
menafsirkan firman Allah: “Wa taqallubaka fis-Sajidin” (QS. asy-
Syu’ara: 219), menuliskan: “Telah diriwayatkan dari sahabat Abdullah
ibn Abbas bahwa beliau berkata dalam makna ayat ini, artinya bahwa
Rasulullah berasal dari moyang-moyang yang suci (jelas) secara
145 Penjelasan lengkap dan rinci lihat Masalik al-Hunfa, as-Suyuthi, dalam al-
Hawi Li al-Fatawi, 2/220 mengutip A’lam an-Nubuwwah, al-Mawardi.