Page 87 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 87

Membela Kedua Orang Tua Rasulullah  |  85
            kemudian  Rasulullah  sendiri  mengakui  ketetapan  harga  diyat
                                         139
            tersebut [sebagai hukum Islam]” .
                    Juga  sejalan  dengan  penjelasan  di  atas;  riwayat  yang
            mengatakan  bahwa  Rasulullah  di  saat  perang  Hunain  menyebut-
            nyebut nasab-nya, berkata:





            “Aku adalah seorang nabi,  aku  berbicara  ini  bukan dusta, dan  aku
                                         140
            adalah putra Abdul Muth-thalib” .
            Ini adalah bukti yang menguatkan pendapat Imam Fakhruddin ar-Razi
            dan para ulama yang sependapat dengan beliau; sebab ada banyak
            hadits  yang  melarang  untuk  menyebut-nyebut  nasab  moyang-
            moyang yang kafir, di antaranya; riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-
            Iman  dari  hadits  sahabat  Ubay  ibn  Ka’b  dan  Mu’adz  ibn  Jabal
            menyebutkan bahwa di masa Rasulullah ada dua orang laki-laki saling
            menyebut  nasab-nya  masing-masing  di  hadapan  Rasulullah,  salah
            satunya  berkata:  “Aku  adalah  fulan  ibn  fulan,  aku  adalah  fulan  ibn
            fulan”, maka kemudian Rasulullah bersabda:













                  139  al-Hawi Li al-Fatawi, 2/206, mengutip dari ath-Thabaqat, karya Ibn sa’d.
            Dalam  hadits  Rasulullah  bersabda:  “Ana  Ibn  adz-Dzabihatain”  (Aku  adalah
            anak/keturunan  dari  dua  orang  yang  hendak  disembelih  (yaitu  Nabi  Isma’il  dan
            Abdullah  ibn  Abdil  Muth-thalib).  Kisah  tentang  Abdullah  ibn  Abdul  Muth-thalib
            banyak dikutip dalam berbagai kitab sejarah. Lihat di antaranya Ibnu Hisyam dalam
            as-Sirah an-Nabawiyyah, 1/116-118
                  140  Shahih al-Bukhari, nomor 2930 dan 4315, dari al-Bara’ ibn Azib,  Shahih
            Ibn  Hibban,  nomor  5771,  al-Jami’  ash-Shaghir,  nomor  2684,  Majma’  az-Zawa-id,
            6/186.
   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92