Page 42 - Memahami-Bidah-Secara-Komprehensif
P. 42

40  | Memahami Makna Bid‟ah

                  َةليبضَيىوَ،ةئيسَةعدبَيهفَةبحتسمىاوَةب جاوَتسيلَةعدبَلكو

                  َانمإفَةنسحَةعدبَانهإَعدبلاَضعبَقيَؿاقَنمو  ، َ  ذُملسق١اَؽافتاب
                  َسيلَ امَ امأفَ ،ةبحتسمَ انهأَ ىلعَ يعرشَ ليلدَ ـاقَ اذإَ كلذ

                  َنمَ انهإَ ذُملسق١اَ نمَ دحأَ ؿوقكَ يبفَ بجاوَ ىاوَ بحتسصٔ


                                         ػىا. َ للاَلىإَابهَبرقتكَتىلاَتانسـٟا

            “Dan  setiap  bid‟ah  yang  bukan  wajib  dan  bukan  mustahabbah
            (dianjurkan/sunnah) maka dia adalah bid‟ah buruk, dan dia adalah
            sesat  dengan  kesepekatan  orang-orang  Islam.  Dan  adapun
            pendapat  yang  mengatakan  ada  sebagian  bid‟ah  yang  disebut
            bid‟ah hasanah maka itu adalah apa bila telah ada dalil Syara‟ [yang
            mentapkan] bahwa dia itu bid‟ah  mustahabbah. Adapun perkara
            [baru]  yang  tidak  mustahabb,  dan bukan wajib; maka tidak ada
            seorang-pun dari orang-orang Islam yang mengatakan itu sebagai
            kebaikan-kebaikan  yang  bisa  untuk  taqarrub  kepada  Allah
                        35
            dengannya”.
                    Anda perhatikan catatan Ibnu Taimiyah di atas. Ia tidak
            hanya menetapkan adanya bid‟ah mustahabbah (perkara baru yang
            dianjurkan),  tetapi  ia  juga  menetapkan  adanya  bid‟ah  wajibah
            (artinya; bid‟ah wajib yang justru berdosa apa bila ditinggalkan).
            Bandingkan  dengan  pendapat  para  pecinta  Ibnu  Taimiyah
            (Taimiyyun/Wahhabiyyah)  di  masa  kita  sekarang;  mereka  yang
            menilai secara mutlak/general/menyeluruh bahwa segala apapun
            yang tidak ada di zaman Rasulullah maka dia adalah bid‟ah sesat.
            Pertanyaannya;  Beranikah  mereka  mengatakan  Ibnu  Taimiyah





                   35 َIbnu Taimiyah,  Majmu‟ al-Fatawa, j. 1, h. 161-162. Lihat pula dalam
            karya  Ibnu  Taimiyah  lainnya,  berjudul;  Qa‟idah  Jalilah  Fi  at-Tawassul  Wa  al-
            Wasilah, j. 2, h. 28
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47