Page 35 - Hukum Perbankan Indonesia
P. 35
litan dalam transaksi, terutama dalam perdagangan antarnegara
bagian. Ketidakseragaman ini juga mempersulit penilaian keaslian
dan nilai sebenarnya dari uang kertas yang beredar.
c. Frekuensi kegagalan bank. Tingginya tingkat kegagalan bank menjadi
masalah serius selama Era Perbankan Bebas. Banyak bank tidak
memiliki cadangan modal yang memadai dan sangat rentan
terhadap risiko likuiditas. Ketika kepercayaan nasabah menurun,
sering kali terjadi penarikan dana besar-besaran (bank run). Hal
tersebut menyebabkan sejumlah besar bank kolaps. Dampak dari
kegagalan ini sangat merugikan perekonomian, baik di tingkat
lokal maupun nasional. Sebagai contoh, di negara bagian Indiana,
dari 104 free banks yang didirikan antara tahun 1852 hingga 1862,
sebanyak 86 bank mengalami kegagalan. Bahkan di New York—
yang dianggap sebagai negara bagian dengan sistem perbankan
bebas paling berhasil—sebanyak 160 dari 449 bank yang didirikan
antara tahun 1838 hingga 1863 mengalami kegagalan. Tingginya
angka kegagalan ini mencerminkan kelemahan mendasar dalam
sistem perbankan bebas yang kurang pengawasan dan regulasi
yang memadai.
Era Perbankan Bebas berakhir dengan disahkannya UU Per -
bankan Nasional (National Banking Acts) pada tahun 1863 dan 1864.
Undang-undang ini memperkenalkan sistem perbankan nasional yang
memungkinkan pendirian bank-bank nasional dengan piagam federal.
Bank-bank nasional tersebut diizinkan untuk menerbitkan mata uang
nasional yang seragam, didukung oleh obligasi pemerintah federal.
Selain itu, undang-undang ini menetapkan kerangka regulasi dan peng-
awasan yang lebih ketat, termasuk persyaratan modal minimum dan
inspeksi berkala oleh otoritas federal.
4. UndangUndang Bank Nasional (National Bank Act)
Pada masa Civil War (1861–1865), kebutuhan mengenai sistem
perbankan yang stabil dan mata uang nasional yang seragam menjadi
semakin mendesak. Pemerintah federal menghadapi tantangan besar
Bab 1 Bank sebagai Lembaga Kepercayaan 19

