Page 31 - Hukum Persaingan Usaha Indonesia
P. 31
1. monopoli pihak swasta (private monopolization);
2. kartel dan hambatan/pengekangan perdagangan yang tidak wajar
(cartels or unreasonable restraint of trade); dan
3. praktik bisnis yang tidak adil (unfair business practices).
Wewenang penegakan hukuman persaingan usaha di Jepang
diberikan kepada Komisi Perdagangan yang Adil (Japan Fair Trade
Commission, disingkat menjadi JFTC). JFTC ini bertanggung jawab
langsung kepada Perdana Menteri secara administratif (Pasal 27 ayat
(2) Dokusen Kinshi Ho). Wewenang yang dimiliki JFTC terdiri dari
wewenang administratif, wewenang untuk mengeluarkan peraturan,
wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta wewenang
untuk menjatuhkan sanksi.
Di Uni Eropa, aturan semacam ini dikenal dengan competition law
(Prayoga, dkk., 2000: 31–36). Aturan mengenai kompetisi bisnis di
Eropa telah diupayakan melalui larangan monopoli yang telah dican-
tumkan dalam Treaty of Rome 1957 dalam Pasal 85 dan Pasal 86 yang
menyatakan hal-hal sebagai berikut (Purba, 1999).
1. Pasal 85
Perjanjian-perjanjian yang dilarang dalam kerangka hukum persaingan
usaha mencakup semua bentuk kesepakatan antarpelaku usaha, kepu-
tusan asosiasi pengusaha, dan praktik usaha yang disepakati bersama
yang dapat memengaruhi perdagangan antarnegara anggota serta
bertujuan untuk mencegah, membatasi, atau menghambat persaingan
di pasar. Bentuk-bentuk perjanjian tersebut antara lain:
a. penetapan harga, baik secara langsung maupun tidak langsung,
atas harga pembelian, harga jual, atau syarat perdagangan lainnya;
b. pembatasan atau pengendalian terhadap produksi, pasar, kema-
juan teknologi, atau investasi;
c. penggunaan pasar dan sumber daya secara bersama-sama;
d. pemberlakuan syarat yang berbeda terhadap transaksi yang setara
kepada pelaku usaha lain sehingga menciptakan kondisi persa-
ingan yang merugikan;
Bab 2 Politik Hukum Persaingan Usaha 19

