Page 157 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 157
goblok. Dengan tegas saya bilang, “Baik, saya akan cari di
toko online. Terima kasih.” Lalu saya melengos pergi.
Keesokan harinya dan esok harinya lagi saya menyam-
bangi toko itu lagi, hanya untuk melihat-lihat. Diam-diam
saya berniat balas dendam. Hasrat baru ini membuat saya
bersemangat dan merasa lebih sehat. Diam-diam pula saya
mengamati situasi dalam toko dengan lebih detail. Toko
mainan ini toko mainan terbesar di kota. Milik seorang tai-
pan Bugis. Tokonya dipenuhi dengan etalase kaca yang tidak
terkunci dan rak-rak dengan kardus-kardus berbagai mainan
yang ditata sedemikian rupa hingga menyentuh langit-langit.
Beberapa sisi etalase tampak berdebu. Ada tiga orang pramu-
niaga di dalam toko ini. Dua perempuan dan satu laki-laki.
Ketiganya masih terbilang muda. Dua pekerja perempuan
seringkali berdiri di toko bagian mainan anak perempuan.
Di antara boneka yang berjejalan mereka asyik bergosip. Se-
mentara pekerja laki-laki, pemuda yang melayani saya tempo
hari dengan tipuan licik, lebih suka menatap ponselnya. Ia
sering melakukan panggilan video.
Sebelum beraksi, mula-mula saya harus menemukan
rekan kriminal. Lantas, saya teringat anak tetangga yang se-
ring berkeliaran dengan ketapel untuk mencuri buah mang-
ga dari pohon di halaman rumah kontrakan. Saya tunggu
anak itu sampai muncul dan saya tangkap basah. Awalnya ia
ketakutan ketika saya datangi. Tapi jadi kebingungan kare-
na saya justru menawarinya membeli mainan. Ia mungkin
berpikir, ini hukuman yang aneh. Saya bilang, jangan bilang
siapa-siapa, ya. Ia mengangguk mantap. Bocah suka men-
139

