Page 155 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 155
Setelah menyiapkan rancangan bisnis konveksi yang
lebih canggih dari milik Rachmad sebelumnya, mula-mula
saya menelepon Papa. Jika gol, maka saya akan langsung
menelepon Rachmad. Tapi begitu mendengar nada kebe-
ratan dari Papa, ide cemerlang saya langsung menguap begitu
saja. Papa mengabarkan pabrik garmen kami terancam tutup
jika tiga bulan ke depan wabah belum mereda. Beliau telah
memecat puluhan karyawan tanpa pesangon yang memadai.
Katanya, mumpung belum lebaran, belum ada kewajiban
membayar tunjangan hari raya, jadi sebaiknya lekas meme-
cat banyak orang. Lantas, Papa mengajak diskusi tentang
kondisi finansial perusahaan. Beliau ingin mendengar
pandangan saya sebagai mahasiswa S2 Manajemen. Tapi
saya hanya menyimak, sambil berkomentar pendek-pendek,
yang penting masih terdengar sopan. Saya pikir Papa tidak
butuh berkonsultasi kepada saya, apalagi perlu seperangkat
teori untuk menganalisis kapan tepatnya resesi menukik
ke arah depresi global. Saran saya tentu sia-sia. Bagaimana
pun Papa sudah memutuskan merumahkan banyak peker-
janya dengan dalih pemasukan perusahaan jeblok. Saya tahu
Papa tidak tengah terlilit hutang bank. Beliau bahkan masih
mempunyai cadangan modal untuk ekspansi bisnisnya. Di
situasi gawat darurat seperti ini saya melihat prioritas Papa
adalah mengamankan tabungan.
Setelah menelepon Papa, semalaman saya terlibat baku
tembak virtual di game online. Ketika kalah lagi, entah
kesekian kalinya, tiba-tiba saya jadi ingin belajar me-
nembak betulan. Alangkah mendebarkan andaikata saya
137

