Page 151 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 151
Sebenarnya, saya tak setuju atas keputusan Jodi.
Saya bilang, bisa jadi telah bersemayam virus dalam diri
sahabat saya itu, namun imun yang kuat membuatnya ti-
dak sakit. Sementara jika tetap ngotot pulang, ia berisiko
menulari keluarganya sendiri. Jodi yang merasa sehat wal
afiat langsung emosi, merasa dituduh. Entah bagaimana,
akhirnya saya dan Jodi terlibat percakapan alot. Jarang
sekali di antara kami bertengkar. Berselisih paham sering,
namun tak sampai membuat kami naik pitam. Rachmad pun
menengahi. Ia heran mengapa Jodi tak mematuhi imbauan
pemerintah. “Sejak kapan aku manut mereka?” ejek Jodi
lalu menerangkan tumpang-tindih kebijakan pusat dan
daerah selama penanganan pandemi. Tak hanya itu, sebagai
mahasiswa farmasi ia justru menjelek-jelekkan industri obat-
obatan dan menuduh mafia farmasi otak di balik semua
kekacauan ini. “Apalagi kalau bukan untuk menjual vaksin!”
semburnya.
Kemudian Jodi menatap saya tajam dan berkomentar
sikap saya mengingatkannya kepada salah satu mantan pa-
carnya yang posesif. Kuping saya panas mendengar ucapan
Jodi, tapi saya diam saja dan memilih masuk kamar. Saat
kepala saya sudah dingin, saya berkesimpulan bahwa saya
sudah bersikap selayaknya sahabat sejati di masa seperti
ini, menegur dengan keras jika tindakan kawannya dapat
membahayakan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.
Jodi memang kekanak-kanakkan. Pamer bundelan skripsi
di depan ayahnya tak serta merta membuatnya dipercaya
menjadi tulang-punggung keluarga.
133

