Page 152 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 152
Tak sampai seminggu semenjak Jodi pulang, Rachmad
pun pamit pulang kampung. Keputusannya ini sangat men-
dadak. Usut punya usut, usaha konveksinya gulung tikar.
Alat-alat sablon di garasi rekan kerjanya sudah ia kardus-
kan. Rachmad mengaku bahwa ia terjerat utang kepada
bank online yang berbunga tinggi. Yang lebih mengejutkan
lagi, dan saya sempat tertawa, karena mengira Rachmad
membanyol seperti biasanya, ia mengaku telah mempunyai
bini beranak satu. Tanpa sepengetahuan kami, Rachmad
menikahi seorang janda di kampungnya. Sebelum korona
membikin banyak pernikahan ditunda, enam bulan lalu,
Rachmad telah melakukan akad, dan kembali ke sini setelah
menyemai benih.
“Bangkrut, terlilit utang, istri hamil, sebentar lagi anak
saya dua, saya bisa apa selain nekat pulang?”
“Tapi situasi masih seperti ini, Mad. Mudik dilarang.”
“Saya nggak mudik. Saya pulang kampung. Itu dua hal
yang berbeda.”
“Baiklah, terserah kamu saja,” ucap saya tidak ingin
mengulangi perdebatan panas seperti tempo hari dengan
Jodi. “Mengapa kamu tidak pernah cerita soal pernikahanmu
sebelumnya?” tanya saya dengan nada berat.
“Saya malu kepada kalian semua. Apalagi hanya saya-
lah dari empat orang yang paling sering mencicil uang sewa
kontrakan yang harus kalian talangi dulu. Padahal saya bu-
kan lagi mahasiswa. Saya bekerja dan berkeluarga. Mema-
lukan jika saya menjadi parasit dalam hidup kalian.”
Saya kecewa mendengar pengakuan Rachmad. Saya
134

