Page 153 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 153
kira kami berempat adalah keluarga. Rachmad sudah saya
anggap seperti adik kandung saya sendiri karena usia kami
terpaut dua tahun. Sesama anggota keluarga harus saling
terbuka dan percaya. Tak boleh ada yang menyembunyikan
rahasia sebesar ini.
Sejujurnya, saya sedih dengan cara Rachmad merendah-
kan dirinya sendiri. Bertambah sedih karena saya perlahan
memahami bahwa segala watak gila kebersihan Rachmad
selama ini tak lain tak bukan adalah upayanya untuk hidup
sejajar dengan kami, menepis cap benalu yang ia sematkan
pada dirinya sendiri dengan cara menjadi pembantu di ru-
mah kontrakan ini. Betapa konyolnya pemikiran seperti itu.
Akhirnya, tibalah kondisi di mana saya benar-benar
sendirian di rumah kontrakan. Saya ditemani diri saya
sendiri. Pantulan bayangan dari permukaan cermin meng-
gambarkan sesosok perjaka yang berantakan, rambut
memanjang dan brewok bermunculan seperti papan parutan
kelapa. Entah untuk berapa bulan lagi saya absen ke tukang
cukur langganan. Situasi serba tak pasti. Sementara kepasti-
an terasa semu belaka. Orang bilang, selepas wabah mereda,
mereka akan liburan sekeluarga ke pantai, atau ke gunung,
atau ke manca negara, tapi itu hanyalah angan-angan belaka,
sebab tak ada yang tahu kapan semua ini berakhir. Termasuk
pemerintah. Termasuk pemuka agama. Termasuk ilmuwan.
Perlahan saya mulai merasa kesepian. Jenis kesepian yang
baru. Meski saya masih bisa berinteraksi dengan siapa pun
melalui internet, hakikatnya saya tetap di rumah seorang
diri. Betapa malang!
135

