Page 98 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 98
“Apa Bapak memang menjual barang-barang yang
tak selesai seperti itu? Seperti kucing saya yang bermata
satu itu mungkin?” tanyanya sambil mengulum kue.
“Buat apa membuat barang baik-baik? Orang hanya
akan menawarnya semurah mungkin.”
“Setidaknya banyak orang akan suka dengan karya
Bapak. Bapak akan banyak untung.”
Baru tersadar akan sesuatu yang terlewat, Saroh
segera mempersilakan minum kepada tamunya. Keduanya
saling berpandangan, dan tersenyum. Gadis itu tak ingat
bahwa tamunya itu baru saja menceritakan dongeng yang
sangat mengerikan. Baginya, orang tua ini sangatlah
menarik. Ia teringat almarhum kakeknya di yang rebah di
pulau seberang. Saroh terpaksa melewatkan
pemakamannya karena harus mengikuti ujian nasional, dan
sekarang, tiba-tiba saja ia jadi sangat merindukannya.
“Pak, apa boleh saya memanggil Anda ‘Kakek’?
Sepertinya Kakek tahu banyak hal,” ujarnya penuh selidik.
“Mengapa tidak? Orang memanggilku dengan
bermacam-macam sebutan,” jawab orang tua itu ramah.
Berseloroh, dikempiskanlah pipinya untuk menunjukkan
bahwa ia tak lagi punya gigi. Saroh tertawa.
Sore itu Saroh tak membeli apa pun dari orang tua itu.
Ia hanya memberi sejumlah uang, sebagai ganti harga
boneka kucing bermata satu. Rupanya kemarin ia sudah
terlalu kurangajar dengan menawar terlalu rendah, meski
penjual tua itu mudah saja meluluskan harga yang Saroh
inginkan.
***
“Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ
98

