Page 102 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 102

Tuhan  dan  tuhan  membacanya  dengan  seksama.  Benar
           balon  itu  melambung  tinggi  dihantarkan  angin.  Ayah
           bertanya padaku tentang cita-cita, aku menjawab aku ingin
           ke tempat tertingi yah, ya ke tempat tertingi bersama ayah
           dan  akan  aku  tunjukan  betapa  hebatnya  dunia  saat  kita
           berada di tempat tertingi. Ayah hanya tersenyum padaku dan
           berkata  kau  pasti  bisa  mencapainya.  Ayah  mengibas-
           ngibaskan tangannya ke rambutku, dan aku tersenyum, tapi
           entah apa yang terjadi, hujan turun lebat. Ya mungkin karena
           kota  kami  sering  hujan  jadi  sudah  jatahnya  air  itu  turun
           membabi buta kota kami, aku dan ayah lari mencari tempat
           berteduh,  tapi  apadaya  bajuku  sudah  basah  kuyup,  baju
           ayah juga, jadi kami memilih untuk bersenandung bersama
           hujan, ayah melarangku hujan-hujanan takut aku akan sakit,
           tapi aku lari saja dan ayah mengejarku, ayah…ayah.. ayo
           kejar aku, ayah pasti akan sulit menangkapku aku kan gadis
           lincah..ayah ayo kejarlah…

                  Benar-benar kota ini membuatku rindu. Sesampainya
           dimakam  ayah  aku  membeli  bunga  untuk  ditaburkan  ke
           pusaranya,  aku  heran  makan  ayah  tak  ditumbuhi  rumput
           secuilpun,    bersih-sih    dan    rapi,   bunga     mawarnya
           berkembang  indah,  mungkin  penjaga  makam  sering
           membersihkan  makam  ayah  sehingga  bersih  dari  rumput
           dan hewan-hewan melata. Ayah aku merindukanmu, ayah
           sekarang aku hidup sendiri yah tak ada ayah lagi, lihat yah
           gadis kecilmu sekarang sudah menjadi gadis yang dewasa
           dan tentunya cantik, seperti yang ayah bilang dulu… “Mawar,
           kau harus menjadi gadis yang dewasa dan cantik, kau juga
           harus saling mengasihi satu sama lain.” Lihat ayah, sekarang
           aku  menjenguk  ayah.  Air  mata  membanjiri  makam  ayah,
           tanahnya seketika basah menyegar dalam sebuah tangisan.
           Setelah selesai menatap makam ayah aku pergi ke penjara

           “Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ

                                                                           102
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107