Page 105 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 105
banyak sekali orang, aku tak melihat ayah, karena aku terlalu
kecil dan pendek. Aku berteriak saja sekencang mungkin
supaya ayah mendengarkanku. Ayah…ayah…ayah… wajah
ayah mencariku dari sela-sela kerumunan orang banyak.
Aku kembali berteriak. Ayah…ayah..ayah… kali ini ayah
menemukan wajahku.
“Mawar... Mawar pulanglah Mawar ini hujan lebat.
Ayah tak apa, akan kutemui kau nanti.” Ayah menjulurkan
tanganya dan menatapku.
“Ayah…ayah…pulanglah...” Aku berlari tapi polisi itu
mengendongku, dan mencegahku untuk bertemu ayah. Aku
hanya menangis tak kunjung henti sampai mataku
membiru,dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Bingung
apa yang harus dilakukan, lalu ku putuskan untuk tinggal di
panti beberapa saat, sembari menunggu kepulangan ayah
dari kantor polisi, tapi ia tak kunjung pulang. Waktu itu panti
kami diundang bernyanyi untuk para tahanan sel. Aku
mengikutinya walau paling kecil diantara para paduan suara
tersebut. Menari-nari di atas panggung sambil menikmati
lagu yang kami nyanyikan. Sekejap mataku tertuju dalam
satu wajah yang membuatku bengong. Ternyata ayah. Ayah
yang aku rindukan selama beberapa bulan ini tidak bertemu.
“Ayah…!!!” Teriakku diatas pangung langsung lari dan
memeluk ayahku yang nakal itu.
“Ayah, ayo kita pulang!” Aku menyeret-nyeret tangan
ayah. “Mawar… kau baik-baik saja gadis kecilku. Ayah
merindukanmu nak.” Membalas pelukanku. Serontak semua
mata menatap kami. Melihat dengan penuh keibaan, ada
pula yang berdiri ingin melihat ada adegan apa sebenarnya.
“Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ
105

