Page 104 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 104
93
tetapi, tak mempunyai nyali untuk melangkah. Lihat saja,
aku hanya dapat merenungi kemiskinanku tanpa dapat ber-
buat apa-apa. Bodoh, bukan?"
"Ah ... jangan berkata begitu. Kamu hams tegar
menghadapi segalanya!" ucap Ika merangkul bahuku. Jiibab
putihnya membaur dengan jiibab putihku yang telah memu-
dar warnanya.
Sementara itu, gedung-gedung yang tegak menantang
langit, tetap terdlam. Bahkan, ditutupnya teiinga, dibutakan
matanya agar tak mendengar jerltanku, tak melihat iangkah
gontaiku di halamannya dan aku kecewa. Namun, usapan
lembut angin senja yang datang dari bukit sebelah meng-
hiburku dengan bislkan-blsikan lembutnya. Tanpa sadar, aku
tersenyum. Hanya seekor capung merah yang kebetulan
melintas yang tahu.
PagI baru merekah. Sebaris awan perak bertahta di an-
tara kilauan cahaya keemasan, memagari langit timur de
ngan polesan warna eloknya, Kubiarkan sinar matahari yang
lurus panjang-panjang menyusup melalui jendela, menyapa
kamar sepiku dengan senyum ramahnya. Kertas dan buku-
buku tebal masih berserakan di lantai. Semua bercerita
tentang kehidupanku yang semrawut.
Meski baru pukul tujuh lebih sedikit, aku telah bersiap
untuk berangkat kuliah. Segelas energen sereal coklat dan
sepotong roti tawar tanpa selai tanpa me/sjes ceres sehingga
rasanya benar-benar tawar, cukup untuk mendiamkan pe-
rutku yang menjerit-jerit minta diisi.
Setapak demi setapak, sepatuku menginjak jaian edel-
weis. Jalan yang menjanjikan keabadian. Tetapi, selama
hampir satu tahun lewat di sini, keabadian itu tak pemah ku-
dapatkani bahkan, aku hampir kehilangan sebentuk rasa
percaya dirl yang susah payah kubangun di atas kepingan-
keplngan harapan yang telah porak-poranda.
Bunyi klakson mengagetkanku.

