Page 109 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 109

98



         tahkan  warna pelangi. Lampu minyak yang  menempel di
         tiang kayu membiaskan warna yang indah sekali.
               "Yun, bulan depan sebaiknya engkau mengikuti UMPTN
         lagi," tambah Ibu.
               "Jadi, Om ini disuruh Ayah untuk ...? Aku tak sanggup
          melanjutkan kalimatku, laki-laki di samping Ayah menatapku
         tajam sekali. Terlintas di benakku bahwa aku pernah menge-
          nali tatapan itu. Atau bahkan pernah merasa memilikinya.
         Tentu saja semua itu hanya dalam mimpi.
               "Maafkan ayah, Nak," laki-laki di samping ayah yang
         diam sejak tadi membuka mulut. "Ayah baru dapat mene-
          mukan kalian sekarang. Masih ada kesempatan untuk me-
          wujudkan impianmu yang belum sempat terwujud kemarin.
          Menjadi dokter.
               Aku menatap kedua laki-laki setengah umur di hada-
          panku bergantian. Keduanya adalah ayahku. Namun, aku
          hanya mempunyai sebuah sajak. Aku harus memilih salah
         satu di antara keduanya. Tetapl, sketsa pelangi yang ter-
         tinggal  di  wajah  lelah  ayahku  yang  kurus, yang  penuh
          dengan kerutan ketuaan, yang bermahkotakan uban, yang
         telah  membentuk jiwaku dari anyaman daun pandan, dari
         sabut-sabut kelapa, dari sayatan batang bambu, menarik
         setiap kata yang selama ini  tersimpan rapi jauh di lubuk
          hati.
               Hanya satu kata yang tertinggal saat aku berganti me-
          mandang ke arah ayahku yang tinggi  besar yang mem
          punyai satu garis samar daiam lekuk wajah mapannya. Garis
          penyesalan! Tapi, kemudian aku ragu untuk menghapus satu
          garis samar itu dengan satu kata yang tersisa. Walaupun
          hanya satu  kata, aku  masih ing'm  membaginya dengan
          ayahku yang memiliki terlalu banyak garis-garis yang lebih
         jelas. Satu kata "maaf^ Itu kemudian terurai menjadi aliran
          sungai yang deras, mengalir dari kelopak mataku yang telah
          lelah menampung beban hidup yang teramat berat.
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114