Page 113 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 113

102



          peristiwa tak menentu yang bernama hidup itu. Sejak itu
          pula aku berkenalan dengan kuas-kuas dan aku bertekad
          untuk tidak melewatkan segala yang kualami. Semua harus
          abadi di atas kanvas, seperti nenek mengabadikan takdir ibu
          dengan memberi nama adikku Halimah.
               Di ujung lelah, di saat aku harus jadi ibu bagi Halimah,
          kugenggam jemari kecilnya, iaiu kubisikkan serangkai kali-
          mat yang sebenarnya belum layak didengar oleh anak se-
          baya dia.
               "Adikku, kambing-kambing kita dijual saja, ya. Seba-
          gian uangnya kita tabung dan sebagian lagi akan kakak ja-
          dikan modal untuk membuka kios lukisan di kota. Kakak me-
          lukis, kamu kuliah. Bagaimana, setuju?"
               "Kita  berdua pindah ke kota ya, Kak. Kakak melukis
          dan Imah sekolah. Kalau Imah sudah besar, Imah boleh
          mencari Ayah, ya Kak," tanggapnya bersemangat. Aku ha-
          nya mengangguk dan kemudian pura-pura ke kamar kecil
          melarikan tangis yang tiba-tiba  menyergap tulang air ma-
          taku.
                Sekarang, setiap kali bangun pagi, sebelum mencum-
          bui kanvas, aku lemparkan senyum ke matahari. "Anugerahi
          aku api itu. Aku ingin mendidihkan mendung. Sempurnakan
          segala pedih sampai di sinl. Hadirkan hanya damai saja,"
          igauku selalu. Keinginan untuk menjadi ibu merangkap ne
          nek bagi Halimah sudah matang di benakku. Aku ingin jauh
          dari kelelakian yang dicontohkan ayah.
                Menjadi lelaki menurutku adalah memupuk selera dan
           kecintaan  pada bunga, tetapi  membunuh keinginan  untuk
           menjadi kupu-kupu; liar dan buas terhadap lawan jenisnya.
          Seperti kucing yang selalu lapar akan daging. Aku tidak suka
           laki-lakl. Bahkan, aku sudah tidak suka lagi dipanggil Farid
           oleh orang-orang. Singkatnya, aku bisa merasa tenang ha
           nya dengan menjadi manusia. Seperti ungkapan nenek, "Ma-
           nusia sejati biasanya sangat arif memahami hidupnya dan
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118