Page 115 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
        P. 115
     104
         ke atas kanvas. Aku tidak bisa jujur dengan kata-kata. Kata-
         kata sudah lemah sejak lama. Sejak ayahku berkata ingin
         menikah iagi. Hanya dengan menyatukan titik-titik dan ga-
         ris-garis aku menemukan kejujuran. Dengan merangkai ane-
         ka warna, aku masuk ke sebuah dunia yang mengalir begitu
         saja tanpa hams ada yang datang, yang pergi, dan yang di-
         tingggalkan. Tidak ada caci  maki. Semua meluncur indah,
         bebas, dan sadar.
               Dengan senang aku dapat pula memenuhi permintaan
         Halimah ketika la  merengek minta dibuatkan lukisan. Kata-
         nya, la akan ulang tahun dan dihadiahi lukisan. Maka untuk-
         nya, di atas kanvas berukuran 100 x 75 cm aku tuang peris-
         tiwa kecil yang pernah singgah di kehidupan kami.
               Dua orang kakak beradik berdiri di padang ilalang. Pu-
         luhan  kambing  mengekor di  belakang  mereka. Kambing-
         kambing itu dalam komposisi yang tertata unik terlihat sibuk
         dengan diri masing-masing. Ada yang mengadu tanduk, ada
          yang memanjat temannya, dan ada pula yang menjangkau-
          kan sepasang kaki depannya ke pagar dan sepasang kaki
          belakangnya berpijak di tanah karena sedang menjangkau
         sehelai  daun  pisang. Dua orang  kakak beradik  itu  terus
          bercerita. Si kakak berjalan di depan, membungkuk memilih
         daun-daun dan rumput-rumput segar kesukaan anak kam
          bing yang sengaja dikandangkannya karena masih kecil. Si
          adik tertatih menyeret karung bekas kemasan pupuk, tem-
          pat mengumpulkan daun-daun dan rumput-rumput yang di-
          pillh kakaknya.
               Antara letih dan tidak si adik bertanya, "Nenek bilang,
          ibu pergi ke surga. Kakak nggak mau ikut juga, ya."
               Si kakak menggigil mendengar tutur kata adiknya yang
          lugu dan menyentuh itu. Dalam hati ia berucap tulus, "Demi
          surga, aku dan adikku  ingin  bertemu  Iagi  dengan ibu."
          Kemudian, antara lelah dan tidak, si kakak berdiri. Dengan
          sabit di tangan kanan, ia sapu keringat yang mengalir di ke-





