Page 107 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 107

96



         lah ayah.
              "Ya... ya. Ayah setuju. Tapi,
              "Tapi, kenapa Yah?"
              "Ayah minta maaf bila tak dapat membantu banyak."
              "Yuni tak akan memberatkan Ayah."
              "Bagaimana kuliahmu, Yun? lancar-lancar saja?" tanya
         ibu yang baru datang membawa sepiring pisang rebus dan
         secangkir kopi untuk ayah.
              "Baik-baik saja, Bu."
              "Bagaimana dengan?" Ibu tak melanjutkan pertanya-
         annya, sebuah jip hitam berhenti di depan pagar rumah ka-
         mi. Ayah segera menuju pintu pagar. Dari dalam jip ke luar
         seorang laki-Iaki setengah umur berbadan lebar, bercakap-
         cakap sebentar dengan ayah, lalu  berjalan di sebelah klri-
         nya.
              "Oh, DImas Bud! rupanya, marl silakan  masuk," ujar
         Ibu ramah.
              Beberapa saat ayah dan Ibu  asylk dengan tamunya
         hingga tak terslsa sedikit pun perhatlan  untukku. Dengan
         kesal aku menlnggalkan beranda, mencomot sebuah pisang
         rebus darl piring plastlk. Kuraplkan sapu-sapu sabut kelapa,
         kuletakkan dl beranda rumah sebelah barat.
              "Besok, pagl-pagi sekall aku akan bangun, ikut Ibu ke
         pasar, menjajakan sayuran. Suasana pasar yang ramal past!
         menyekan," bislkku pada flamboyan yang sedang mengem-
         bang.
              "Ada tamu ya, Kak?" tanya Rangga mengagetkanku.
              "Ya. Nggak tahu slapa."
              "Tumben ada orang gedean nyasar ke rumah kita."
              "Husss. Jangan keras-keras."
               Ketika asylk dengan berGakap-eakapf dengan Rangga,
         Ibu memanggil kami untuk makaFr malam. Ayah duduk di
         ujung tikar  pandan yang terbentang  di  sisi  timur ruang
         tamu. DI sebelahnya, tamu yang dlpanggli Ibu "Dimas BudI,"
   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112