Page 15 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 15
Tanganmu yang lembut itu kembali memukul-mukul
pelan di dadaku. seperti tak bertenaga, tapi menyiratkan e-
nergi cinta. Kita kembali tertawa. Bercanda dan bercerita,
sampai petang melanda. Waktu pulang pun tiba.
Pada bulan April, dalam tanggal yang cukup tua, aku
menikahimu. Disaksikan beratus pasang mata. Di luar, seka-
wanan hujan menyanyi, mendering pada genting kering.
Berderap pada tetanah dan bebatu. Meruapkan dingin.
Dalam gaun pengantimu, kau tampak membinarkan
keelokan. KIta berdua menikah dengan restu orang tuamu,
juga orang tuaku. Mereka tampak bahagia.
Dengan penuh puja cinta, kupinang kau dengan se-
rantang keringatku yang telah kuperam. Bersama itu, ku-
bingkiskan kau sebuah alat olah raga agar kau dan aku bisa
berkeringat ketika kau merindukannya. Kau tersenyum-
senyum malu, namun bahagia. Kita pun resmi menjadi se-
pasang suami istri.
Lima tahun kita bingkai rumah tangga dengan indah
dan rapi. Kau masih tetap menggemari keringat. Ketika aku
pulang keiga, kau selalu setia menyeka keringatku. Setiap
hari, kau buka jas kerja dan kemeja dengan rajin. Dengan
handuk kecil, kau mengelap keringat yang menderas di tu-
buhku dengan lembut. Tak bosan-bosannya kau lakukan itu
setiap hari.
Lebih-lebih setelah kita bercinta, kau menyeka seluruh
tubuhku yang basah. Aku pun tertawa lagi. Tapi, aku juga
ikut-ikutan menyeka keringat di seluruh tubuhmu yang ba
sah. Kau pun tertawa geli. Kita sama-sama geli. Bercinta
dengan geli. Kita hidup bahagia. Tapi, belum punya mo-
mongan.
Tujuh tahun berlalu, kita belum punya momongan. Su-
asana perkawinan serasa belum lengkap. Hubungan kita
menjadi agak tegang. Seperti putus asa. Timbul kecurigaan
masing-masing. Kau menuduhku mandul. Tapi, aku juga

