Page 20 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 20
negaskan aku tidak punya jalinan macam-macam dengan
dara-dara tadi. Ingin kulepas teriak suara biar lepas pula
gelegak di dada. Namun, spontan tertahan begitu ingat An-
dung berpenyakit jantung. Perkara ini entah rintang ke
berapa di kepalaku.
"JadI, Kau menggali saiuran, FIz?" suara Andung di
balik pintu.
"Ya, nanti."
Malas, sebenarnya. Namun, kuturutkan dorongan un-
tuk mengganti pakaian, bersuci, menghadap Tuhan (syukur
terakhirnya terkendali perasaan), mengisi perut dan berikut-
nya ke belakang rumah. Singgah di dapur kuangkat tajak
dan tembilang di pojok.
Ada tebat peninggalan Inyik menganga kerontang di
belakang. Aku hendak memanfaatkannya kembali. Karena
saiuran air yang tembus ke bandar hendak tertimbun aku
harus menggali saiuran baru.
Di antara bayang pohon kelapa, pisang, buluh, dan
pandan aku mulai menajak tanah tanpa tembakan langsung
matahari. Pada bagian keras kuhantam dengan tembilang.
Selama aku di sini belum pernah turun hujan, lapisan atas
bumi benar-benar miskin air. Setiap kali membetulkan tu-
dung setiap itu juga aku teringat nasihat ayah yang ganjil,
sedia tudung, hujan di hari terik? Mana pernah. Tak dapat
kumengerti sungguh.
Memasuki Ashar aku menangkap langkah-langkah me-
nuruni tanjung di seberang bandar. Gadis-gadis. Bawaan
mereka adalah handuk dan ember sabun, pakaian mereka
adalah ... uf! Aku berling serta merta sebondong gundah
menguasai perasaan. Tertunduk, enggan kulanjutkan peker-
jaan.
"Wah, kerja keras Jo Fiz?" sapa mereka seraya me-
ngerling mata.
Kucampakkan senyum pahit sebagai jawaban. Duh,

