Page 23 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 23

12



       seorang tua yang mengepit nipah di bibir.
            "O, iyalah."
            "Boleh anak pakiah nonton orgen?"
            "Sesekali  tidak  mengapa  benar.  Kalau  sudah  jadi
       Ungku baru janggal."
            Aku meraba dahi, panas. Lepaslah kendali perasaan ini.
       Mereka kan anak siah, seharusnya merekalah yang menga-
       wali  menjauhi penyakit masyarakat itu, bukan malah ikut
       terjun ke dalamnya. Aku gelisah sekali, batin berkecamuk.
       Ayah, inikah suasana selaras untuk membersihkan diriku?
       Inikah? Kau justru telah mendamparkan aku kembali pada
       sejumlah keburaman masa lalu itu. Ayah ....
             Pulang sekolah kami melangkah beriringan  menapakl
       jalan yang semi aspal. Ketika menemui simpang aku tetap
       lurus.
            "Eh, ke mana kita?" Uman bingung.
            "Masjid Raya."
            "O ... salat di sana? Ya, tapi jangan cepat-cepat."
            "Jemaah Man, jemaah ...."
            "Salat berimam?" Uman menghentikan langkah sem-
       bari mehanku. "Waa, di Masjid Raya tidak ada."
            "Ha? Yang betui?"
             "Salat berkaum di sana hanya salat Jumat. Magrib ka-
       dang-kadang, lainnya  hampir tidak ada. Yang rutin  paling
       salat Tarawih di bulan puasa," tutur Uman.
             "Jadi, sama dengan Masjid Koto Andah?"
             "Hampir semua masjid di kampung begitu."
             Mataku  terpejam. Kenyataan apa  lagi  ini?  Emosiku
        mendaki lantas berhimpun di kepalan tangan yang mendarat
       spontan di batang pisang.
             Uman menepuk bahuku.
             "Kritis boleh, tapi tidak menyiksa diri," ujarnya.
             Uman  memang sahabat langka  tempat aku  meng-
        adukan segala rintang pikiran selama ini.
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28