Page 21 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 21
PERPUSTAKAAN
10 PUSAT BAHASA
DEPASTEHEM FWiKKAN NASOm
upik-upik, kalian rancak-rancak, tetapi mengapa berceiana
buntung seperti itu. Celana Hawaii kata orang, memperton-
tonkan betis plus kaos oblong ketat di badan mereka mem-
buat darahku mengalir lebih cepat. Puh! dadaku istighfar dan
tiba-tiba merasa muak. Ayah! Mana ketangguhan kampung
yang kau sebut-sebut duly? Mana itu segala suasana yang
dapat mengikis bersih kepremananku semasa di rantau? Ma
na? Aku telah berlah meninggalkan segala kerapuhan masa
lalu, tetapi di sini ia memburu ke mana pergi.
"HafizI Berenung kau. Mandilah, Ashar pun belum kau
kerjakan!" suara Andung di pintu belakang.
Aku kemasi tajak dan tembilang, dengan gontai, se-
ruan tadi kuturuti. Kebetulan peluh telah membuat lekat
kaos dengan kulit. Udara yang melantun sejuk di sekujur tu-
buh mengurangi kegusaranku.
Lepas Isya di sudut lepau aku menyarungkan kain se-
hingga hanya kepala yang tidak terselimut. Kopiah kubiar-
kan menutup sebagian rambut. Telingaku merekam ota
orang-orang lepau. Malam minggu bukan malam tanpa bela-
jar bagiku, tapi sendiri di kamar membuat trauma sore ba-
rusan bisa menggirangkan pikiran kembali.
Waktu itu perutku membelit-belit. Untuk segera ke
jamban di rumah terlalu jauh. Ke sungai, itu keputusan ter-
baik. Beberapa langkah aku mencapainya. Angkat sarung,
jongkok dan ambrollah benteng air besarku. Tuhan, sungguh
aku ingin buru-buru. Ini pekerjaan paling kubenci, buang air
di sungai termasuk rintang yang sangat menggores di pikir-
anku. Di kampung ini hanya dua bangunan yang punya WC;
rumahku dan rumah Kades. Padahal banyak di antara mere
ka mampu membangun kamar kecil tersebut. Bahkan, ru
mah orang terkaya—Haji Kahar—yang punya parabola, dua
Honda, sepuluh kerbau, dan oto Kijang itu tidak menyedia-
kannya.
Celaka, siapakah yang menyeberangi sungai itu? Si El

