Page 109 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 109
Tapi pada umumnya putusan satu perkara berdasarkan
kesepakatan Majelis Hakim. Yang sering dilakukan adalah
melalui jalur mediasi antara pihak yang berperkara. Dasarnya
adalah kaidah Alua jo Patuik.
Tentang pola alua jo patuik ini dianggap memiliki dalil
keadilan. Penerapan sebuah Undang-undang tidak bisa secara
harfiyah. Justru di sinilah peran kebijaksanaan dari para hakim
mencari keadilan. Sesuai dengan makna kata “hakim” yaitu
Pengambil kebijaksanaan umpama sesuai dengan undang-
undang Adat yang berbunyi:
Kok manimbang samo barek, kok maukua samo panjang,
kok mambagi samo banyak. Seorang ayah ingin berbuat adil
kepada ketiga anaknya. Yang tua sudah kuliah, yang tengah
dibangku SMA dan si bontot masih di TK. Setiap hari masing-
masing diberi uang jajan Rp.100.000,- Maka sang Ayah telah
berbuat tidak adil kepada anak-anaknya. Dzalim kepada anak
tua, sebab uang sebegitu tidak cukup untuk pulang pergi ke
kampus, boros kepada si kecil karena dijemput antar oleh
mobil sekolah.
Mungkin cukup untuk anak yang di SMA. Lalu dimana letak
keadilannya? Maka berdasar kaidah Adat Alua jo Patuik: Setiap
anak mendapatkan pembagian yang tidak sama banyak.
Mungkin cukup Rp.10.000,- untuk si kecil, Rp100.000,- buat
yang tengah dan Rp. 200.000,- bagi si mahasiswa. Itu baru adil!
Bahwa keadilan hakiki menurut rumus Adat Minangkabau
adalah meletakkan sesuatu di tempatnya.
5. Sanksi Hukum Adat
Setiap aturan itu diikuti oleh sebuah sanksi. Tiada artinya
hukum tanpa ancaman kepada si pelaku kejahatan. Adapun
sanksi dalam bahasa Minang ialah “buang”. Terbuang artinya
80
Yus Dt. Parpatih