Page 27 - Adab al-Alim Wa al-Muta'allim
P. 27
26 Adab al-Alim Wa al-Muta'allim
sendiri sedangkan ia sendiri tidak mempunyai satu pendapat pun, maka sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Imam al-Ghazali, hendaknya ia mampu menjaga dari hal seperti itu karena
antara manfaat dan kerusakan (mafsadat) masih lebih banyak kerusakannya.
Begitu juga seorang santri ketika masih dalam tahap permulaan dalam belajar hendaknya ia
menghindari diri dari mempelajari berbagai macam buku non agama, dan kitab diluar
pelajarannya karena hal itu akan menyia-nyiakan waktunya dan hati tidak bisa konsentrasi,
tidak fokus pada satu pelajaran, bahkan ia harus memberikan seluruh kitab-kitab dan pelajaran
yang la ambil kepada gurunya untuk dilihat sampai dimana kemampuan belajarnya sehingga
guru bisa memberikan bimbingan dan arahan sampai pelajar yakin, dan mampu dalam
menguasai palajarannya.
Begitu juga menukil, memindah, meresum dari satu kitab pada kitab yang lain tanpa adanya
hal-hal yang mewajibkan, karena apabila hal itu dilakukan maka akan muncul indikasi pertanda
kebosanan dan menjadi tanda bagi orang yang tidak bisa memperoleh kebahagiaan.
Namun apabila sang santri sudah mempunyai basic, latar belakang kemampuan yang sudah
memadai dan menukil suatu permasalahan hanyalah untuk meningkatkan dan megembangkan
kemampuan yang Ia miliki, maka yang lebih baik adalah hendaknya ia tidak meninggalkan
satupun dari pelajaranpelajaran ilmu agama (syara') karena yang bisa menolong hanyalah tagdir
dari Allah SWT, semoga diberi umur panjang oleh Allah untuk memperdalam ilmu agama
(syara').
Keempat, sebelum menghafalkan sesuatu hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu
kepada seorang kyai (guru) atau orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu tersebut,
setelah selesai diteliti oleh gurunya barulah ia menghafalkannya dengan baik dan bagus.
Setelah menghafalkan materi pelajaran, hendaklah di ulang-ulangi sesering mungkin dan
menjadikan kegiatan tagrar (mengulangi pelajaran) sebagai wadhifah, kebiasaan yang
dilakukan setiap hari. Janganlah menghafalkan sesuatu sebelum diteliti, ditashih oleh seorang
kyai atau orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang itu, karena akan mengakibatkan
efek yang negatif. Misalnya merubah makna atau arti dari kalimat tersebut. Dan telah
dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa ilmu pengetahuan itu tidak di ambil dari sebuah kitab