Page 54 - Adab al-Alim Wa al-Muta'allim
P. 54
53 Adab al-Alim Wa al-Muta'allim
Namun di dalam forum tersebut apabila terdapat orang yang kurang peka pendengarannya,
maka tidak ada masalah, dan sah-sah saja untuk mengeraskan suaranya sehingga ia mampu
mendengarkannya, di samping itu tidak boleh berbicara dengan terlalu cepat, bahkan harus
pelan-pelan sambil berfikir dan di fikirkan juga oleh para mustami, (orang yang
mendengarkannya).
Nabi Muhammad, ketika beliau berbicara dengan orang lain, maka beliau selalu berbicara
dengan pelan-pelan, sistematis, dan terperinci sehingga bisa di fahami oleh orang lain. Beliau
ketika mengucapkan suatu kalimat selalu di ulangi sampai tiga kali dengan maksud agar mudah
dipahami. Dan ketika beliau telah selesai dalam menjelaskan sebuah persoalan, atau pokok
masalah, beliau berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan bagi orang yang masih ada
ganjalan dalam hatinya untuk mengungkapkannya.
Seorang guru hendaknya menjaga ruangan atau kelasnya dari kegaduhan, keramaian atau
pembahasan yang simpang siur yang tidak jelas arahnya, karena hal itu bisa merubah terhadap
tujuan pembahasan, Al Rabi' telah berkata: adalah imam Syaff'i apabila di debat oleh seseorang,
kemudian orang itu berpindah pada persoalan yang lain sebelum tuntas, maka imam Syafi'i
berkata: “Selesaikan dulu persoalan awal, baru kita beralih ke persoalan lain yang kau
kehendaki”, Guru harus bersikap lembut dalam menghentikan kecenderungan seperti itu, sejak
ia mulai terlihat, sebelum menyebar luas dan emosi hadirin meluap.
Guru mengingatkan para hadirin atas keterangan-keterangan yang mengecam sikap tidak mau
kalah dalam berdebat, terutama setelah kebenaran terungkap. Dan bahwa pertemuan ilmiah
dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran, membersihkan hati dari kemusykilan, dan semata
mendapatkan manfaat. Dan bahwa tidaklah patut bagi orang yang berilmu melakukan
persaingan, sebab hal itu mendatangkan permusuhan dan kebencian. Sebuah majelis pertemuan
yang ilmiah seharusnya dilandasi niat semata karena Allah SWT, supaya tercapai faedah di
dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sekali-kali guru Per menyitir ayat Al-Quran berikut ini:
“Agar tampak kebenaran dan sirna kebatilan, walau para pendosa tidak suka.” (QS. al-Anfal :
8)
Ayat ini sesungguhnya memberi pemahaman bahwa keinginan melenyapkan kebenaran dan
merealisasikan kebatilan merupakan tindakan dosa yang mesti dihindari.