Page 155 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 155
menjadi terang dengan memunculkan karakter Telaga yang khas perempuan Bali
dari kasta Brahmana. Menurut Satoto (1994, hlm. 45) citra diri perempuan pada
tokoh Telaga dapat direpresentasikan dalam aspek sosial, fisik, dan psikis. Telaga
Pidada direpresentasikan sebagai tokoh perempuan yang memiliki kecerdasan
dalam bidang tari-menari. Namun dalam kompetensinya yang luar biasa, tanpa
disasadari oleh Telaga, kekaguman para lelaki itu yang sesungguhnya merendahkan
diri Telaga pada saat melakukan pertunjukan tarian Bali. Melalui kritik feminis
ideologis (Djajanegara, 2003), ketidakadilan gender yang dialami Telaga mengarah
pada manifestasi pelabelan (stereotype) gender (Fakih, 2013). Sesungguhnya kata-
kata kekaguman dari banyak lelaki yang menyaksikan tarian telaga adalah bentuk
lain dari subordinasi yang merendahkan harga diri Telaga sebagai penari.
Meskipun dalam diri Telaga mengalir darah kasta Sudra dari Jero Kenanga,
statusnya yang bergelar bangsawan tidak membuatnya menjadi sosok yang tinggi
hati. Ibunya berharap Telaga bisa menjadi perempuan Brahmana yang
sesungguhnya. Untuk itu, ibunya menginginkan Telaga menikah dengan lelaki
bangsawan dari kalangan Brahmana. Namun, penilaian Telaga lain tentang
masyarakat Sudra. Terutama ketika dirinya mengenal Wayan sejak kecil di griya.
Dalam pandangan Telaga bahwa Wayan adalah anak lelaki yang sopan, santun, dan
berbakat melukis. Telaga memiliki kecantikan raga yang sempurna. Masyarakat
Bali di sekelilingnnya mengakui pada kesempurnaan Telaga secara fisik dan
batiniahnya. Hal itu terbukti ketika banyak lelaki berharap menjadi suami Telaga,
dan banyak perempuan iri terhadap kecantikan fisik Telaga. Telaga adalah
perempuan kritis yang berjiwa feminis dengan menganggap bahwa hukum adat
dalam masyarakatnya sudah tak sejalan dengan kemanusiaan dan kondisi zaman.
Dengan logikanya, Telaga berupaya mendobrak sistem patriarkhi Bali yang
menjadi kendala bagi kebebasan kaum perempuan. Budaya pengkastaan di Bali
beserta aturan-aturannya terlalu mengikat, dan tidak memberikan peluang pada
kaum perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya.
Adanya pengkastaan yang diatur dalam hukum adat Bali, kini mulai
menimbulkan konflik bagi masyarakat Bali. Seiring perkembangan zaman,
149