Page 164 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 164

bersatu dalam ikatan perkawinan, karena mereka harus taat pada aturan adat kasta

                        Bali.  Ketika  mereka  berdua  melakukan  perlawanan  terhadap  adat  dengan
                        melakukan  pernikahan,  maka  Telaga  harus          rela  melepaskan  gelar

                        kebangsawanannya,  dan  kemudian  Telaga  benar-benar  rela  melakukannya

                        sebagaimana uangkapan perasaannya pada teks berikut ini.
                             “Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun

                             hidup memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi lakon yang baik.
                             Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai

                             Telaga.” (Rusmini, 2007, hlm. 175).

                        Namun, melalui upacara patiwangi yang Telaga sendiri merasa terhinakan dengan
                        pelaksanaan prosesinya. Telaga harus diinjak kepalanya oleh seorang perempuan

                        tua  berkasta  Sudra  sebgaiman  pada  teks  Telaga  bergumam,  membiarkan
                        perempuan  tua  itu  mencuci  kaki  di  ubun-ubunnya  untuk  menjelmakan  dirinya

                        menjadi perempuan baru. Perempuan Sudra! (Rusmini, 2007, hlm. 175). Selain itu,
                        Wayan pun meninggal dunia tanpa sebab setelah lima tahun perkawinan mereka.

                        Hal itu, diingatkan kembali oleh ibu metuanya, Luh Gumbreg yang menyampaikan

                        bahwa semua itu sebagai akibat dari perbuatan Telaga yang menikahi Wayan tanpa
                        restu ibunya, dan pergi dari griya tanpa pamit pada keluarga besarnya.

                             Namun inti ironi dari kisah ini adalah hingga saat ini di Bali masih berlaku
                        diskriminasi kasta yang menimbulkan berbagai konflik di kalangan muda. Sistem

                        pengkastaan dalam masyarakat Bali sudah tak sejalan lagi dengan situasi zaman di

                        mana setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan dalam menentukan siapa yang
                        bakal  menjadi  pasangan  dalam  hidupnya.  Dalam  arti,  tidak  ada  lagi  belenggu

                        apapun yang disebabkan oleh pengkastaan. Hal yang menyatakan bahwa tindakkan
                        perjodohan sudah bukan masanya dapat dinyatakan secara tersirat sebagaimana teks

                        berikut ini.

                             Itulah Jero Kenanga. Perempuan yang tidak pernah mau memahami bahwa
                             dunianya dulu sudah berbeda dengan sekarang. Bahwa kebenaran miliknya
                             tidak pernah sama dengan kebenaran yang akan dicari Telaga dalam hidup
                             ini. Dia marah ketika anaknya menolak pegi bersama laki-laki itu (Rusmini,
                             2007, hlm. 123).








                                                                                                    158
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169