Page 62 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 62
pengungkapan emosi dan hasrat seksual yang normal. Kedua, waktu tulisan-
tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an, jurnal-jurnal kajian
wanita tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri
belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat,
kendala yang dihadapi pengkritik sastra lesbian. Disebabkan sikap antipati para
feminis dan masyarakat misogini, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang
terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor
dirinya.
6. Kritik Sastra Feminis-Etnik; kritik sastra yang digunakan pengkritik sastra
feminis-etnik yang ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-
etnik beserta karya-karyanya. Mereka berusaha mendapat pengakuan bagi
penulis wanita etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam
kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Pengkritik sastra feminis-etnik juga
menyesalkan bahwa sejak munculnya kajian wanita dan kritik sastra feminis,
sampai akhir tahun 1970 penulis wanita etnik dan karyanya nyaris diabaikan atau
hanya menempati kedudukan yang marginal atau peripheral. Mereka merasa
sudah waktunya penulis wanita etnik beserta tulisannya diketahui, dilihat, dan
diperhatikan.
Dalam penelitian ini, penerapan jenis-jenis kritik sastra feminis ditentukan
berdasarkan kesesuaian tema cerita, tokoh dan penokohan, dan amanat yang
terkandung dalamnya. Selanjutnya digunakan pengkajian ginokritik yang khusus
mengkaji tulisan para penulis perempuan untuk menelaah cara mereka
menceritakan tokoh perempuan. Di samping itu, ginokritk menggali karya penulis
perempuan dengan konteks yang mendukung para penulis perempuan mampu
mengungkap pengalaman, perasaan serta pikiran yang selama ini diredam
(Djajanegara, hlm. 18 - 29).
Pada karya-karya novel di masa lalu, terutama pada awal masa kesusastraan
Indonesia modern, para pengarang menceritakan tokoh perempuan sebagai posisi
tokoh utama atau kedua yang dicitrakan dalam kondisi lemah, pasrah, patuh, atau
menderita (Wiyatmi, 2018). Sementara, dalam karya-karya novel Angkatan 2000,
56