Page 69 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 69
Perempuan penulis karya sastra, karya sastra yang ditulis perempuan, dan
perempuan yang menulis tentang perempuan atau laki-laki yang menulis tentang
perempuan sebagai bagian dari pembelajaran sastra feminis. Termasuk pembahasan
tentang hasil karya sastra perempuan dari masa lalu yang saat ini masih menjadi
perdebatan dalam kesusastraan Indonesia. Mengutif dari openjournal.unpam.ic.id
dalam Perempuan dalam Kesusastraan Indonesia, Wiyatmi (2020, hlm. 5)
menyatakan bahwa pembelajaran sastra harus memberikan porsi yang setara
terhadap eksistensi dan karya yang ditulis sastrawan perempuan dan sastrawan laki-
laki. Dalam arti bahwa pembelajaran sastra tidak harus pula fokus mengkaji pada
karya-karya sastrawan perempuan, karena perlu pula karya-karya sastrawan laki-
laki untuk dikaji sebagai upaya mengetahui konstruksi gender yang ada dalam hasil
karangannya.
Pembelajaran sastra feminisme di perguruan tinggi dapat diimplementasikan
dalam pembelajaran kritik sastra feminis melalu tujuh karya novel Angkatan 2000.
Novel yang dapat dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran kritik sastra feminisme
diupayakan dalam kategori novel bersifat mahakarya atau berada di jalur sastra
yang besifat novel fiksi serius. Novel fiksi serius adalah karya sastra yang oleh
pembacanya dapat dinikmati sepanjang zaman, karena ceritanya belandaskan pada
pengalaman dan bahasa keseharian manusia. Meskipun novel serius bisa bermuatan
segala hal yang bersifat tak lazim, namun menawarkan tentang fakta-fakta dan isu-
isu yang masih relevan untuk pembaca dalam jangka waktu yang lama, bahkan
sepanjang zaman (Stanton, 2012, hlm. 1).
Tokoh perempuan dan citra diri dari tokoh perempuan adalah objek dari
kajian kritik sastra feminis dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam mengkaji
novel Angkatan 2000 harus dipastikan terlebih dulu adanya tokoh cerita yang
berkelamin perempuan untuk dijadikan bahan kajian utama, terlepas posisinya
sebagai tokoh utama atau tokoh kedua. Sementara itu, kehadiran tokoh laki-laki
dalam cerita adalah upaya untuk memperkuat penilaian terhadap citra diri tokoh
perempuan (Djajanegara, 2003, hlm. 51),
63