Page 223 - A Man Called Ove
P. 223
A Man Called Ove
“Dia bisa tinggal di sini hingga esnya mencair sepenuhnya,
lalu kau harus membawanya pergi,” kata Ove sambil
mengedikkan bahu ke arah kucing itu.
Dari sudut mata, dia bisa melihat bagaimana Parvaneh
memandangnya. Seakan perempuan itu sedang mencoba
menebak kartu macam apa yang dimiliki Ove di seberang
meja kasino. Ini membuat Ove tidak nyaman.
“Kurasa aku tidak bisa,” kata Parvaneh kemudian.
“Kedua putriku … alergi,” imbuhnya.
Ove mendengar sedikit jeda sebelum perempuan itu
mengucapkan “alergi”. Dia meneliti pantulan Parvaneh
di jendela dengan curiga, tapi tidak menjawab. Dia malah
berpaling kepada pemuda kelebihan bobot.
“Kalau begitu, kaulah yang harus mengurusnya,”
katanya.
Jimmy, yang kini bukan hanya bermandikan keringat,
tapi wajahnya juga berubah merah dan bebercak-bercak,
menunduk memandang si kucing dengan penuh kasih.
Perlahan-lahan hewan itu mulai menggerakkan ekor bun-
tungnya dan membenamkan hidungnya yang berair semakin
jauh ke dalam lipatan-lipatan besar lemak lengan atas Jimmy.
“Jangan menganggap aku mengurus kucing sebagai
gagasan hebat, maaf, Pak,” kata Jimmy sambil menggerak-
gerakkan bahu hingga si kucing terjungkir-jungkir dan
akhirnya terbalik. Jimmy menjulurkan kedua lengannya.
Kulitnya memerah, seakan dia sedang terbakar.
“Aku juga sedikit alergi ….”
218